Halaman

Pages

Pages

Pages - Menu

Pages - Menu

Laman

Minggu, 27 Oktober 2013

ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) , PELUANG ATAU TANTANGAN?

ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC)
 PELUANG ATAU TANTANGAN?




Disusun Oleh :
Agi Andrianto (11-311-029)


PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK
2013-2014



ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) , PELUANG ATAU TANTANGAN?

Indonesia boleh saja berbangga dengan pertumbuhan ekonomi yang terbilang stabil di beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi yang cenderung stabil bahkan berkembang  di tengah krisis global adalah sebuah prestasi tersendiri bagi Indonesia. Ditambah lagi dengan perkembangan status ekonomi masyarakat kelas menengah ke atas yang tergolong pesat.  Namun tantangan global terus mengiringi perjalanan Indonesia menuju negara maju. Wujud nyata tantangan tersebut dimulai dari ruang lingkup regional. ASEAN Economic Community (AEC) 2015 akan menjadi tantangan sekaligus peluang Indonesia dalam waktu dekat. Tantangan tentu saja tidak bisa dihadapi tanpa adanya persiapan dan kekuatan yang matang dari segenap sektor yang dipengaruhi oleh era kebebasan perdagangan ini. Pertanyaannya adalah, seberapa “siapkah” Indonesia dalam menghadapi AEC 2015.
ASEAN Economis Community merupakan salah satu bentuk Free Trade Area(FTA) dan berlokasi di kawasan Asia Tenggara. AEC ini terintegrasi lewat kerja sama ekonomi regional yang diharapkan mampu memberikan akses yang lebih mudah, tidak terkecuali perdagangan. Indonesia adalah market yang cukup besar bagi produsen-produsen suatu produk menawarkan barangnya. Banyak produsen luar negeri beranggapan Indonesia menjadi salah satu sasaran pemasaran yang paling menguntungkan dibandingkan negara-negara berkembang lainnya. Dengan diterapkannya blueprint perdagangan tanpa batas yang diramal terjadi di tahun 2015 mendatang tentunya Indonesia memiliki peluang sekaligus tantangan dalam hal perdagangan internasional.
Tarif yang hampir 80% menggunakan zero percent tentunya akan mempermudah Indonesia memasuki pangsa pasar bahan baku dari negara tetangga, mengingat tidak semua bahan baku ada di Indonesia. Keadaan ini akan memicu persaingan yang lebih kompetitif baik dalam lingkup domestik maupun internasional. Disamping itu, nama Indonesia yang dikenal sebagai market potensial dengan jumlah penduduk yang besar diharapkan mampu menarik para investor luar negeri yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Tentu saja di sini pemerintah mempunyai peranan penting dalam mengatur kebijakan terhadap para investor agar tidak saja mencari keuntungan, tetapi mampu meningkatkan tingkat perekonomian Indonesia. Jika pemerintah tidak melakukan analisis terhadap permasalahan tesebut, beberapa sektor industri akan mengalami titik kelemahan ketika FTA benar-benar diimplementasikan.
 Negara-negara di ASEAN yang dikenal sebagai komoditi ekspor berbasis sumber daya alam terbesar di Asia juga menjadikan peluang dalam persaingan pasar produksi dengan surplus pada neraca transaksi. Konsentrasi perdagangan ke luar ASEAN memang mengalami penurunan sejak tahun 1993 dari 80% menjadi sekitar 73% pada akhir tahun 2008. Keadaan ini berbanding terbalik dengan perdagangan intra-ASEAN yang meningkat dari 19% menjadi 26% di tahun yang sama. Indonesia yang menjadi salah satu pemain penting dalam percaturan dagang di ASEAN memiliki presentase impor yang tidak berimbang dengan ekspor baik dalam lingkup intra-ASEAN maupun ke luar ASEAN. Keadaan ini harus dipahami oleh pemerintah sehingga nantinya terdapat solusi sebelum perdagangan bebas mendominasi pangsa pasar.
Tantangan muncul ketika peluang menghadirkan berbagai resiko di dalamnya. Tantangan yang harus dihadapi Indonesia menghadapi perdagangan bebas tidak hanya berada pada permasalahan dometik, tetapi di dalam lingkup internasional khususnya kawasan Asia Tenggara. Kinerja ekspor menunjukkan Indonesia berada pada peringkat ke-4 di kawasan ASEAN di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand di akhir tahun 2008. Di samping itu kinerja impor juga tidak menunjukkan kekuatan Indonesia sebagai negara penghasil bahan baku dengan berada pada peringkat ke-3 di bawah Singapura dan Malaysia di tahun yang sama. Apabila kondisi daya saing tidak segera diperbaiki, defisit terhadap negara-negara tersebut akan semakin membesar dan menjadi ancaman yang sangat serius bagi perekonomian Indonesia. Keadaan ini sebenarnya bisa diperbaiki dengan memperbaiki produk-produk yang akan diproduksi. Produk-produk yang diciptakan oleh negara-negara ASEAN selama ini menunjukkan kesamaan yang akan berakibat pada persaingan yang cenderung monoton.Indonesia harus secara teliti melihat keadaan ini sebagai peluang atau tantangan, melihat negara ini memiliki sumber daya alam yang lebih dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.
Indonesia dalam KTT ASEAN ke-21 di Phnom Penh tahun 2012, ditunjuk sebagai motor penggerak dalam mengintegrasikan kekuatan Asia Tenggara di dunia global. Bersama-sama dengan Singapura dan Thailand, Indonesia berada di baris terdepan dalam mengimplementasikan konsep-konsep yang telah disepakati. Keadaan ini diperkuat dengan optimisme Menteri Perdagangan RI Gita Wiryawan yang menyebutkan bahwa AEC ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan pendapatan per kapita. Dengan konsep Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) diharapkan mampu meningkatkan posisi tawar dalam perekonomian global bersaing dengan blok-blok integrasi lainnya di luar Asia.
 Tentunya peluang ini harus dimaksimalkan oleh seluruh negara ASEAN dengan persiapan di semua sektor. Tujuan utama dari 10 negara ini adalah tingkat perekonomian yang merata di samping mendapatkan kemudahan akses ekonomi regional. Melihat keadaan memang tidak selalu seperti yang diharapkan. Persaingan yang terlalu kompetitf memicu kesenjangan ekonomi antar negara. Singapura misalnya, negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di ASEAN ini tentunya tidak bisa dibandingkan bahkan disamaratakan dengan negara-neara berkembang di kawasan Asia Tenggara. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang harus teliti dan cermat dalam “kebebasan” ini. Peluang dan tantangan harus dianalisis, ditanggapi, dan diimplementasikan secara konseptual sehingga nantinya Indonesia tidak hanya menjadi marketbagi para investor luar saja, melainkan mampu mengendalikan pasar internasional.
ASEAN Community terdiri atas tiga pilar utama yang saling terintegrasi, yakni ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Socio-Culture Community. Adapun tujuan dari AEC ini adalah untuk mendorong efisiensi dan daya saing ekonomi di kawasan ASEAN, meliputi empat hal, yaitu menuju single market dan production base, menuju penciptaan kawasan regional ekonomi yang berdaya saing tinggi, menuju satu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata serta menuju integrasi penuh pada ekonomi global.
Tentu saja, penerapan AEC ini akan berdampak pada perekonomian negara-negara di kawasan ASEAN. Terbukanya akses-akses ekonomi akan memunculkan persaingan di sektor usaha semakin tinggi. Bukan hanya bersaing di dalam negeri, pengusaha-pengusaha Indonesia akan berhadapan secara langsung dengan pengusaha di tingkat regional.

Indonesia di Persimpangan Jalan
Penerapan AEC 2015 meletakkan perekonomian Indonesia di tengah persimpangan. Pertama, jika Indonesia mampu memanfaatkannya, perekonomian Indonesia akan mencapai kejayaan. Kejayaan dalam arti Indonesia sebagai bangsa besar yang berpengaruh dan dihormati dunia, khususnya ASEAN, karena mampu memanfaatkan semangat globalisasi. Artinya, dengan penerapan AEC 2015, terbuka pasar yang lebih luas bagi pengusaha Indonesia.
Jika pengusaha-pengusaha Indonesia bisa bersaing dengan pengusaha ASEAN, terbuka kemungkinan untuk melakukan ekspansi ke negara tetangga. Persimpangan kedua, perekonomian Indonesia akan terjun bebas. Artinya Indonesia hanya dimanfaatkan sebagai pasar bagi berbagai komoditas barang dan jasa negara-negara ASEAN. Dengan tingkat kondusivitas pertumbuhan perekonomian serta jumlah populasi penduduk terbesar di ASEAN, sangat memungkinkan skenario ini terjadi.
Pasar domestik Indonesia merupakan pasar yang sangat menggiurkan bagi berbagai produk impor. Melihat realitas tantangan yang dihadapi, Indonesia harus mulai berbenah. Tidak banyak waktu bagi Indonesia untuk memperbaiki daya saing perekonomian nasional. Padahal begitu banyak yang perlu segera dilakukan untuk mengatasi berbagai ketertinggalan, khususnya dalam kecepatan doing business, peraturan dan perundangan, birokrasi, permodalan, infrastruktur, dan kualitas produk. Peningkatan daya saing adalah kebutuhan masa kini yang harus segera dipenuhi.
Pada 2013 ini ada beberapa tantangan yang dihadapi sektor usaha nasional dalam upaya peningkatan daya saing perekonomian nasional: tarik ulur kenaikan harga BBM bersubsidi, kenaikan tarif dasar listrik, dan kenaikan upah minimum. Belum lagi tarik ulur masalah ketenagakerjaan, tingkat korupsi yang masih tinggi, hingga masalah maraknya pungutan liar. Mau tidak mau, permasalahan tersebut harus segera diatasi. Apalagi pada 2013 ini Indonesia sudah memasuki tahun politik. Seluruh konsentrasi nasional akan terpusat pada proses suksesi nasional yang akan berlangsung pada 2014.

Namun, tanpa disadari masyarakat umum, seiring berakhirnya pemilu, ada tantangan yang lebih besar, yaitu AEC 2015. Kita berharap, adanya AEC 2015 akan memicu tumbuhnya pengusaha-pengusaha yang bukan hanya mampu bersaing di panggung nasional, tetapi juga mampu bersaing di tataran global. Peluang emas saat ini terpampang di depan mata. Sangat sayang jika peluang emas tersebut tidak bisa dimanfaatkan Indonesia. Saat ini perusahaan nasional sulit meningkatkan daya saing dikarenakan hambatan ekonomi biaya tinggi, iklim investasi yang belum kondusif, serta hambatan kapasitas institusional.
Padahal peluang emas tersebut seyogianya menjadi faktor pemercepat bagi terwujudnya “Asianisme” yang sudah diprediksi banyak pihak sebelumnya. Asianisme—menggantikan Westernisme—adalah fenomena atau tepatnya zaman di mana perekonomian dunia digerakkan oleh perekonomian di Asia, khususnya Asia Tenggara. Yang perlu dicatat, Asianisme tidak hanya terbatas pada pengertian Asia sebagai pasar, tapi juga Asia sebagai produsen barang dan jasa dengan kualitas dan harga yang sangat kompetitif bagi pasar-pasar negara Barat.
Sayangnya baru sedikit dari perusahaan Indonesia yang memiliki kemampuan untuk menembus pasar regional dan internasional. Justru yang terjadi sebaliknya. Di pasar dalam negeri sendiri pun produsen nasional kalah bersaing dengan barang dan jasa impor. Hal itu patut disayangkan karena sebelum merambah pasar regional, produsen nasional sebaiknya mendominasi pasar dalam negeri terlebih dahulu. Apalagi mengingat ukuran pasar Indonesia yang begitu besar, setiap produsen nasional memiliki kesempatan untuk mencapai skala ekonomis yang cukup besar sehingga menurunkan ongkos produksi secara signifikan.
Hal itulah yang dilakukan China secara agresif dalam dua dekade terakhir, khususnya setelah menjadi anggota World Trade Organization (WTO). Akibatnya, perusahaan nasional yang sudah membangun pangsa pasar selama bertahun-tahun justru khawatir pasarnya tergerus dalam sekejap oleh impor dari China yang jauh lebih murah dengan kualitas yang sering kali lebih baik. Oleh karena itu, dalam pandangan saya, dalam menghadapi AEC ada beberapa sektor yang harus dibenahi. Pertama, memberlakukan kebijakan yang tepat untuk meningkatkan daya saing sektor usaha nasional milik negara maupun swasta di seluruh sektor unggulan di seluruh Nusantara.

Hal ini dapat dilakukan dengan perbaikan indikator doing business dan kepastian hukum. Kedua, penyediaan infrastruktur yang akan memotong praktik ekonomi biaya tinggi. Ketiga, menjaga stabilitas nasional jelang Pemilu 2014 dan menjaga konsistensi kebijakan pasca-2014. Keempat, perumusan kebijakan yang berpihak pada pengusaha pemula dan pengusaha lokal. Kelima, mempermudah akses permodalan. Keenam, melakukan pencitraan Indonesia di berbagai forum internasional. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan keikutsertaan Indonesia di forumforum internasional.
LANGKAH STRATEGIS EKONOMI INDONESIA MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY
Association of South East Asian Nation (ASEAN) dengan mantap memastikan diri masuk dalam babak baru percaturan geoekonomi dan geopolitik global. Hal ini ditandai dengan ekonomi China, India sebagai mitra utama ASEAN melaju pesat. Posisi ASEAN sebagai kawasan strategis diintegrasi dengan beberapa langkah strategis yang diambil organisasi yang beranggotakan 10 negara di Asia Tenggara minus Timor Leste ini dalam mewujudkan ASEAN Community. Dalam mewujudkan ASEAN Community ini ada tiga pilar utama, yaitu pilar pertama politik-keamanan dengan menciptakan ASEAN Political Security Community (APSC), pilar kedua ekonomi dengan upaya menciptakan ASEAN Economic Community (AEC) dan pilar ketiga sosial-budaya dengan upaya mewujudkan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC).
Berdasar analisis dari Road Map HIPMI, setidaknya terdapat tiga indikator yang digunakan untuk meraba posisi Indonesia di ekonomi ASEAN. Pertama, pangsa ekspor Indonesia ke negara-negara ASEAN cukup besar. Nilai ekspor Indonesia ke Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand mencapai 13,9 persen dari total ekspor Indonesia pada 2005. Kedua, daya saing ekonomi Indonesia buruk dibandingkan negara ASEAN lainnya. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Forum Ekonomi Dunia dalam Global Competitiveness Index 2011-2012, peringkat Indonesia turun menjadi peringkat 46 dari peringkat 44 pada 2010. Ketiga, percepatan investasi di Indonesia tertinggal bila dibandingkan negara ASEAN lainnya. Selain akibat dari sisa krisis ekonomi, rendahnya investasi dipicu pula oleh buruknya infrastruktur ekonomi, kelambanan birokrasi, dan mahalnya izin usaha. Berkaitan dengan hal ini, Indonesia harus serius mempersiapkan diri.
Selanjutnya untuk mewujudkan kesiapan dibidang ekonomi Indonesia dalam menyongsong ASEAN Community 2015, kebijakan-kebijakan dan langkah strategis yang berkaitan dengan peningkatan daya saing produk Indonesia untuk pasar global dan penanganan strategis untuk poin ketiga dalam indikator posisi Indonesia di ekonomi ASEAN. Untuk menghadapi AEC 2015 tiga langkah strategis ini mungkin harus segera dipersiapkan: meningkatkan kesiapan sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi yang mengkoneksikan seluruh wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan dalam satu kesatuan, penerapan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mendukung pemajuan kualitas produksi pangan dan non pangan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan, dan mewujudkan Badan Publik (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif) yang transparan, akuntabel menuju good governance dan clean government(Tatakelola pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih) atau anti KKN. Dalam rangka meningkatkan kesiapan sarana dan prasarana, Kementerian PU, Perhubungan, Pemerintah daerah secara sinergi membangun infrastruktur transportasi di seluruh wilayah Indonesia khususnya sentra-sentra produksi pertanian, peternakan, perkebunan dan perikanan baik transportasi darat, laut dan udara dengan memperhatikan sistem yang berkelanjutan dan kelestarian alam dan lingkungan. Sebagai contoh adalah Kementerian Perhubungan, Kementerian PU dan Pemda membangun jaringan prasarana dan penyediaan sarana transportasi antar moda, antar pulau yang terintegrasi seperti membangun terminal bandara, terminal angkutan darat dan pelabuhan laut baik skala internasional, antar provinsi dan antar pulau kecil, terluar dan tertinggal. Selanjutnya untuk langkah strategis kedua, Kementerian Ristek dan BPPT bersama pemangku kepentingan lainnya sudah seharusnya dapat mengoptimalkan pelaksanaan Undang-undang Nomor 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam rangka meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global. Namun, kedua langkah strategis tersebut tidak akan dapat berjalan apabila langkah strategis ketiga ini tidak dapat dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Komisi Informasi Pusat bersama organisasi non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap perwujudan pemerintahan yang bersih secara sistemik harus mampu melaksanakan undang-undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan cara-cara sosialisasi, edukasi, pengawasan, pengecekan dan penyelesaian sengketa  informasi publik. Pada akhirnya dengan dapat memenuhi tiga langkah strategis di atas seluruh faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia, seperti SDA, SDM, teknologi, budaya, dan modal, dapat berkembang secara koheren bersiap menghadapi AEC 2015
BERDASARKAN NERACA
percepatan pelaksanaan AEC (ASEAN Economic Community) dari tahun 2020 menjadi 2015, dengan tujuan menjadikan kawasan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi regional, kawasan yang memiliki daya saing tinggi, kawasan pemerataan pengembangan ekonomi dan sebagai sarana menuju perekonomian global, diperlukan peta strategi yang jelas dan peran para pemangku kepentingan dari Pemerintah maupun pelaku usaha.
AEC 2015 secara umum dituntut adanya daya saing yang baik dari ASEAN maupun seluruh anggotanya untuk dapat mempeoleh semua hasil maksimal yang dapat diraih dari kerjasama ini. Tentunya untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan adanya persiapan yang baik dari seluruh anggota ASEAN termasuk Indonesia, yang pelaksanaannya sesuai dengan cetak biru AEC 2015 yang telah disepakati oleh seluruh anggota ASEAN.
Menurut Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, persiapan Indonesia menghadapi AEC 2015 sebesar 72%, dia mengaku masih ada keterbatasan dalam menyambut AEC yang tidak hanya berada di Indonesia tetapi juga sembilan negara ASEAN lain. “Tantangannya adalah bagaimana mengejar kemajuan industrialisasi sejumlah negara ASEAN lain dalam sisa waktu yang ada. Keterbatasan di Indonesia jelang AEC tidak ada, untuk infrastruktur pendukung memang tidak sempurna 100%, namun pembangunan menjurus ke sana," jelasnya kepada wartawan di Kementerian Perdagangan, Jum’at (31/8).



Pengenalan AEC
Selain itu, tantangan yang juga harus diselesaikan oleh sejumlah negara ASEAN adalah upaya pengenalan AEC kepada masyarakat. Ternyata masih banyak yang belum mengetahui mengenai AEC oleh berbagai kalangan di Indonesia, baik di kalangan pemerintah pusat, daerah, dan kalangan dunia usaha. Ini merupakan tantangan yang membutuhkan tanggapan yang tepat dan cepat, tetapi yang tentunya tidak mudah untuk bisa meyakinkan para pemangku kepentingan dan pengusaha yang selama ini tidak menjadikan ASEAN sebagai pasar atau sasaran investasi yang penting.
Secara umum AEC memiliki 12 sektor prioritas, yakni produk-produk  berbasis pertanian, otomotif, elektronik, perikanan, poduk berbasis karet, tekstil dan  pakaian, produk berbasis kayu, perjalanan udara,  e-ASEAN, kesehatan, pariwisata,  dan logistik. Sektor tersebut yang paling diminati anggota ASEAN, dan menjadi  ajang untuk bersaing satu sama lain. Gagasannya adalah jika sektor-sektor ini  diliberalisasikan secara penuh, maka akan mengembangkan keunggulan masing-masing sektor dengan menarik  investasi dan perdagangan, serta membantu mengembangkan produk-poduk buatan ASEAN.
Liberalisasi Tenaga Kerja
Namun, dari sisi ketenagakerjaaan dalam skema AEC 2015 hanya memberlakukan liberalisasi tenaga kerja profesional papan atas, seperti dokter, insinyur, akuntan dan sebagainya. Disayangkannya, tenaga kerja informal yang selama ini merupakan sumber devisa yang cukup potensional bagi Indonesia, cenderung dibatasi pergerakannya di AEC 2015 nanti. Maka, kualitas Smber Daya Manusia (SDM) harus ditingkatkan agar bisa digunakan baik dalam negeri maupun intra-ASEAN, selain itu untuk mencegah banjirnya tenaga kerja terampil dari luar negeri.
Ketua Komite Komite Tetap Sertifikasi Tenaga Kerja Kadin Indonesia Djimanto pernah mengingatkan perdagangan bebas bukan selalu tentang barang. Namun, jasa atau tenaga kerja termasuk yang diatur oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait perdagangan bebas. Apalagi saat memasuki AEC 2015, akan ada kelonggaran bagi keluar masuknya tenaga kerja antar negara Asia Tenggara. Maka tenaga kerja Indonesia perlu mempersiapkan diri.
Menurut dia, tenaga kerja nasional perlu meningkatkan daya saingnya. Kalau tidak, bisa kalah dengan tenaga kerja asing yang berasal dari negara-negara tetangga. “Jadi oleh karena itu perlu suatu pengukuran standar kompetensi,” terangnya. Dia menjelaskan, bahwa program pelatihan, sertifikasi, serta penempatan tenaga kerja (3P) juga menjadi keharusan dalam menyongsong AEC 2015. Tapi, tenaga kerja yang berkompetensi bagus pun belum tentu mampu melakukan pekerjaan dengan maksimal, sebab harus menjaga tingkat produktivitas dan daya saing industri tersebut.

























DAFTAR PUSTAKA

http://fmeindonesia.wordpress.com/2013/03/12/asean-economic-community-aec-2015-peluang-atau-tantangan.
SUMBER BANK INDONESIA,MENUJU ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
DEPARETEMEN PERDAGANGAN INDONESIA
www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar