Halaman

PENGARUH KUALITAS KEHIDUPAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DENGAN KOMITMEN DAN KEPUASAN KERJA

0   komentar

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kualitas kehidupan kerja merupakan suatu konsep atau filsafat manajemen dalam rangka perbaikan kualitas sumber daya manusia yang telah dikenal sejak dekade tujuh puluhan. Pada saat itu kualitas kehidupan kerja diartikan secara sempit yaitu sebagai teknik manajemen yang mencakup gugus kendali mutu, perkayaan pekerjaaan, suatu pendekatan untuk bernegosiasi dengan serikat pekerja, upaya manajemen untuk memelihara kebugaran mental para karyawan, hubungan industrial yang serasi, manajemen yang partisipatif dan salah satu bentuk intervensi dalam pengembangan organisasional (French et al, 1990 dalam Noor Arifin, 1999).
Dalam perkembangan selanjutnya kualitas kehidupan kerja merupakan salah satu bentuk filsafat yang diterapkan oleh manajemen dalam mengelola organisasi pada khususnya dan sumber daya manusia khususnya. Ada empat dimensi di dalam kualitas kehidupan kerja yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia yaitu partisipasi dalam pemecahan masalah, sistem imbalan yang inovatif, perbaikan lingkungan kerja dan restrukturisasi kerja.
Kualitas kehidupan kerja merupakan masalah utama yang patut mendapat perhatian organisasi ( Lewis dkk, 2001 ) Hal ini merujuk pada pemikiran bahwa kualitas kehidupan kerja dipandang mampu untuk meningkatkan peran serta dan sumbangan para anggota atau karyawan terhadap organisasi. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kualitas kehidupan kerja mempunyai dampak positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan ( May dan Lau, 1999 ) Adanya kualitas kehidupan kerja juga menumbuhkan keinginan para karyawan untuk tetap tinggal dalam organisasi.
I.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh kualitas kehidupan kerja terhadap kinerja karyawan?
2. Bagaimana pengaruh kualitas kehidupan kerja terhadap kepuasan kerja dan komitmen karyawan ?



BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Kualitas Kehidupan Kerja 
Kualitas kehidupan kerja atau Quality of Work Life (QWL) merupakan salah satu bentuk fisafat yang diterapkan manajemen dalam mengelola organisasi pada umumnya dan sumberdaya manusia pada khususnya. Sebagai filsafat, kualitas kehidupan kerja merupakan cara pandang manajemen tentang manusia, pekerja dan organisasi. Unsur - unsur pokok dalam filsafat tersebut ialah: kepedulian manajemen tentang dampak pekerjaan pada manusia, efektifitas organisasi serta pentingnya para karyawan dalam pemecahan keputusan teutama yang menyangkut pekerjaan, karier, penghasilan dan nasib mereka dalam pekerjaan.
Ada dua pandangan mengenai maksud dari kualitas kehidupan kerja. Pandangan pertama mengatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah sejumlah keadaan dan praktek dari tujuan organisasi. Contohnya: perkayaan kerja, penyeliaan yang demokratis,keterlibatan pekerja dan kondisi kerja yang aman. Sementara yang lainnya menyatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah persepsi-persepsi karyawan bahwa mereka ingin merasa aman, secara relatif merasa puas dan mendapat kesempatan mampu tumbuh dan berkembang selayaknya manusia (Wayne, 1992 dalam Noor Arifin, 1999). 
Konsep kualitas kehidupan kerja mengungkapkan pentingnya penghargaan terhadap manusia dalam lingkungan kerjanya. Dengan demikian peran penting dari kualitas kerja adalah mengubah iklim kerja agar organisasi secara teknis dan manusiawi membawa kepada kualitas kehidupan kerja yang lebih baik (Luthansm, 1995 dalam Noor Arifin, 1999).
Sedangkan Prof. Siagian (dalam Noor Arifin, 1999) menyatakan bahwa QWL sebagai filsafat manajemen menekankan:
1. QWL merupakan program yang kompetitif dan mempertimbangkan berbagai kebutuhan dan tuntutan karyawan.
2. QWL memperhitungkan tuntutan peraturan perundang-undangan seperti ketentuan yang mengatur tindakan yang diskriminan, perlakuan pekerjaan dengan cara-cara yang manusiawi, dan ketentuan tentang system imbalan upah minimum.
3. QWL mengakui keberadaan serikat pekerja dalam organisasi dan berbagai perannya memperjuangkan kepentingan para pekerja termasuk dalam hal upah dan gaji, keselamatan kerja dan penyelesaian pertikaian perburuhan berdasarkan berbagai ketentuan normative dan berlaku di suatu wilayah negara tertentu.
4. QWL menekankan pentingnya manajemen yang manusiawi, yang pada hakekatnya berarti penampilan gaya manajemen yang demokratik termasuk penyeliaan yang simpatik
5. Dalam peningkatan QWL, perkayaan pekerjaan merupakan bagian integral yang penting.
6. QWL mencakup pengertian tentang pentingnya tanggung jawab social dari pihak manajemen dan perlakuan manajemen terhadap para karyawan yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis.
Istilah kualitas kehidupan kerja pertama kali diperkenalkan pada Konferensi  Buruh Internasional pada tahun 1972, tetapi baru mendapat perhatian setelah United Auto Workers dan General Motor berinisiatif mengadopsi praktek kualitas kehidupan kerja untuk mengubah sistem kerja.
Ada dua pandangan mengenai maksud dari kualitas kehidupan kerja. Di satu sisi dikatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah sejumlah keadaan dan praktek dari tujuan organisasi ( contohnya : perkayaan kerja, penyeliaan yang demokratis, keterlibatan pekerja dan kondisi kerja yang nyaman ). Sementara pandangan yang lain menyatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah persepsi-persepsi karyawan bahwa mereka ingin merasa aman, secara relatif merasa puas dan mendapat kesempatan mampu untuk tumbuh dan berkembang sebagai layaknya manusia ( Cascio, 1991 )
Konsep kualitas kehidupan kerja mengungkapkan pentingnya penghargaan terhadap manusia dalam lingkungan kerjanya. Dengan demikian peran penting dari kualitas kehidupan kerja adalah mengubah iklim organisasi agar secara tehnis dan manusiawi membawa kepada kualitas kehidupan kerja yang lebih baik ( Luthans, 1995 ).
Kualitas kehidupan kerja merumuskan bahwa setiap proses kebijakan yang diputuskan oleh perusahaan merupakan sebuah respon atas apa yang menjadi keinginan dan harapan karyawan mereka, hal itu diwujudkan dengan berbagi persoalan dan menyatukan pandangan mereka ( perusahaan dan karyawan ) ke dalam tujuan yang sama yaitu peningkatan kinerja karyawan dan perusahaan.Secara umum terdapat sembilan aspek pada SDM di lingkungan perusahaan yang perlu diciptakan, dibina dan dikembangkan ( Nawawi, 2001 ) Kesembilan aspek tersebut adalah :
a. Di lingkungan setiap dan semua perusahaan, pekerja sebagai SDM memerlukan komunikasi yang terbuka dalam batas-batas wewenang dan tanggungjawab masing- masing. Komunikasi yang lancar untuk memperoleh informasi-informasi yang dipandang penting oleh pekerja dan disampaikan tepat pada waktunya dapat menimbulkan rasa puas dan merupakan motivasi kerja yang positif. Untuk itu perusahaan dalam menyampaikan informasi dapat dilakukan dalam bentuk pertemuan atau secara langsung pada setiap pekerja, atau melalui pertemuan kelompok, dan dapat pula melalui sarana publikasi perusahaan seperti papan buletin, majalah perusahaan dan lain-lain. 
b. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua pekerja memerlukan pemberian kesempatan pemecahan konflik dengan perusahaan atau sesama karyawan secara terbuka, jujur dan adil. Kondisi itu sangat berpengaruh pada loyalitas, dedikasi serta motivasi kerja karyawan. Untuk itu perusahaan perlu mengatur cara penyampaian keluhan keberatan secara terbuka atau melalui proses pengisian fomulir khusus untuk keperluan tersebut. Disamping itu dapat ditempuh pula dengan kesediaan untuk mendengarkan review antar karyawan yang mengalami konflik, atau melalui proses banding ( appeal ) pada pimpinan yang lebih tinggi dalam konflik dengan manajer atasannya. 
c. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua karyawan memerlukan kejelasan pengembangan karir masing-masing dalam menghadapi masa depannya. Untuk itu dapat ditempuh melalui penawaran untuk memangku suatu jabatan, memberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan atau pendidikan di luar perusahaan atau pada lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Di samping itu dapat juga ditempuh melalui penilaian kerja untuk mengatur kelebihan dan kekurangannya dalam bekerja yang dilakukan secara obyektif. Pada gilirannya berikut dapat ditempuh dengan mempromosikannya untuk memangku jabatan yang lebih tinggi di dalam perusahaan tempatnya bekerja.
d. Di lingkungan perusahaan, karyawan perlu diikutsertakan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan pekerjaan, sesuai dengan posisi, kewenangan dan ajabatan masing-masing. Untuk itu perusahaan dapat melakukannya dengan membentuk tim inti dengan mengikutsertakan karyawan, dalam rangka memikirkan langkah-langkah bisnis yang akan ditempuh. Di samping itu dapat pula dilakukan dengan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan yang tidak sekedar dipergunakan untuk menyampaikan perintah-perintah dan informasi-informasi tetapi juga memperoleh masukan, mendengarkan saran dan pendapat karyawan 
e. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap karyawan perlu dibina dan dikembangkan perasaan bangganya pada tempat kerja, temasuk juga pada pekerjaan atau jabatannya. Untuk keperluan itu, perusahaan berkepentingan menciptakan dan mengembangkan identitas yang dapat menimbulkan rasa bangga karyawan terhadap perusahaan. Dalam bentuk yang sederhana dapat dilakukan melalui logo, lambang, jaket perusahaan dan lainnya. Di samping itu rasa bangga juga dapat dikembangkan melalui partisipasi perusahaan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengikutsertakan karyawan, kepedulian terhadap masalah lingkungan sekitar dan mempekerjakan karyawan dengan kewarganegaraan dari bangsa tempat perusahaan melakukan operasional bisnis. 
f. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua karyawan harus memperoleh kompensasi yang adil/wajar dan mencukupi. Untuk itu diperlukan kemampuan menyusun dan menyelenggarakan sistem dan struktur pemberian kompensasi langsung dan tidak langsung (pemberian upah dasar dan berbagai keuntungan/manfaat ) yang kompetitif dan dapat mensejahterakan karyawan sesuai dengan posisi/jabatannya di perusahaan dan status sosial ekonominya di masyarakat. 
g. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua karyawan memerlukan keamanan lingkungan kerja.Untuk itu perusahaan berkewajiban menciptakan dan mengembangkan serta memberikan jaminan lingkungan kerja yang aman. Beberapa usaha yang dapat dilakukan antara lain dengan membentuk komite keamanan lingkungan kerja yang secara terus menerus melakukan pengamatan dan pemantauan  kondisi tempat dan peralatan kerja guna menghindari segala sesuatu yang membahayakan para pekerja, terutama dari segi fisik. Kegiatan lain dapat dilakukan dengan membentuk tim yang dapat memberikan respon cepat terhadap kasus gawat darurat bagi karyawan yang mengalami kecelakaan. Dengan kata lain perusahaan perlu memiliki program keamanan kerja yang dapat dilaksanakan bagi semua  karyawannya.
h. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua karyawan memerlukan rasa aman atau jaminan kelangsungan pekerjaannya. Untuk itu perusahaan perlu berusaha menghindari pemberhentian sementara para karyawan, menjadikannya pegawai tetap dengan memiliki tugas-tugas reguler dan memiliki program yang teratur dalam memberikan kesempatan karyawan mengundurkan diri, terutama melalui pengaturan pensiun. 
i. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua karyawan memerlukan perhatian terhadap pemeliharaan kesehatannya, agar dapat bekerja secara efektif, efisien dan produktif. Untuk itu perusahaan dapat mendirikan dan menyelenggarakan pusat kesehatan, pusat perawatan gigi, menyelenggarakan program pemeliharaan kesehatan, program rekreasi dan program konseling/penyuluhan bagi para pekerja/karyawan. 
Kesembilan aspek tersebut sangat penting artinya dalam pelaksanaan manajemen yang diintegrasikan dengan SDM agar perusahaan mampu mempertahankan dan meningkatkan eksistensinya secara kompetitif. Kualitas kehidupan kerja merupakan suatu bentuk filsafat yang diterapkan oleh manajemen dalam mengelola organisasi pada umumnya dan sumberdaya manusia pada khususnya.
Sebagai filsafat, kualitas kehidupan kerja merupakan cara pandang manajemen tentang manusia, pekerja dan organisasi. Unsur-unsur pokok dalam filsafat tersebut adalah : kepedulian manajemen tentang dampak pekerjaan pada manusia, efektifitas organisasi serta pentingnya para karyawan dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan terutama yang menyangkut pekerjaan, karir, penghasilan dan nasib mereka dalam pekerjaan. (Arifin, 1999 ) Penelitian oleh Elmuti (1997) menunjukkan bahwa implementasi aided self-manajemen team ( bentuk lain dari kualitas kehidupan kerja ) menunjukkan dampak positif pada kinerja karyawan Ada delapan indikator dalam pengukuran  kualitas kehidupan kerja yang dikembangkan oleh Walton ( dalam Zin 2004 ) tetapi dalam penelitian ini hanya akan digunakan empat indikator saja, yaitu : 
1. Pertumbuhan dan pengembangan,yaitu terdapatnya kemungkinan untuk mengembangkan kemampuan dan tersedianya kesempatan untuk menggunakan ketrampilan atau pengetahuan yang dimiliki karyawan
2. Partisipasi, yaitu adanya kesempatan untuk berpartisipasi atau terlibat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi langsung maupun tidak langsung terhadap pekerjaan
3. Sistem imbalan yang inovatif, yaitu bahwa imbalan yang diberikan kepada karyawan memungkinkan mereka untuk memuaskan berbagai kebutuhannya sesuai dengan standard hidup karyawan yang bersangkutan dan sesuai dengan standard pengupahan dan penggajian yang berlaku di pasaran kerja 
4. Lingkungan kerja, yaitu tersedianya lingkungan kerja yang kondusif, termasuk di dalamnya penetapan jam kerja, peraturan yang berlaku kepemimpinan serta lingkungan fisik 
II.2 Kinerja Karyawan 
Kinerja karyawan merupakan suatu hasil yang dicapai oleh pekerja dalam pekerjaannya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan tertentu Robbins ( 1996 ) menyatakan bahwa kinerja karyawan adalah fungsi dari interaksi antara kemampuan dan motivasi. Simamora ( 1997 ) menyatakan bahwa maksud penetapan tujuan kinerja adalah menyusun sasaran yang berguna tidak hanya bagi evaluasi kinerja pada akhir periode tapi juga untuk mengelola proses kerja selama periode tersebut. As’ad ( 1995 ) menyatakan bahwa kinerja karyawan merupakan kesukesan seseorang di dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Kinerja pada dasarnya merupakan hasil kerja seorang karyawan selama periode tertentu. Berhasil tidaknya kinerja karyawan dipengaruhi oleh tingkat kinerja dari karyawan secara individu maupun kelompok. 
Menurut Bernardin dan Russel ( 1993 ) ada 6 kriteria yang digunakan untuk mengukur sejauh mana kinerja karyawan secara individu, yaitu kualitas, kuantitas, ketepatan waktu, efektivitas, kemandirian, dan komitmen kerja. Kinerja pada umumnya dikatakan sebagai ukuran bagi seseorang dalam pekerjaannya. Kinerja merupakan landasan bagi produktivitas dan mempunyai kontribusi bagi pencapaian tujuan organisasi. Tentu saja kriteria adanya nilai tambah digunakan di banyak perusahaan untuk mengevaluasi manfaat dari suatu pekerjaan dan/atau pemegang jabatan. Kinerja dari setiap pekerja harus mempunyai nilai tambah bagi suatu organisasi atas penggunaan sumber daya yang telah dikeluarkan. Untuk mencapai kinerja yang tinggi, setiap individu dalam perusahaan harus mempunyai kemampuan yang tepat ( reating capacity to perform ), bekerja keras dalam pekerjaannya ( showing the willingness to perform ) dan mempunyai kebutuhan pendukung ( creating the opportunity to perform ). Ketiga faktor tersebut penting, kegagalan dalam salah satu faktor tersebut dapat menyebabkan berkurangnya kinerja, dan pembentukan terbatasnya standard kinerja.
Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan. Kinerja individu ini akan tercapai jika didukung oleh atribut individu, upaya kerja (work effort) dan dukungan organisasi. Dengan kata lain kerja individu adalah hasil : 
a. Atribut individu yang menentukan kapasitas untuk mengerjakan sesuatu. Atribut individu ini meliputi faktor individu ( kemampuan dan keahlian, latar belakang serta demografi ) dan faktor psikologis meliputi persepsi, attitude, personality, pembelajaran dan motivasi.
b. Upaya kerja ( work effort ) yang membentuk keinginan untuk mencapai sesuatu
c. Dukungan organisasi, yang memberikan kesempatan untuk berbuat sesuatu. Dukungan organisasi meliputi sumber daya, kepemimpinan, lingkungan kerja, struktur organisasi dan job design.
Menurut A. Dale Timple ( dalam Anwar Prabumangkunegara, 2006) faktor kinerja terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal ( disposisional ) yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang. Fakor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan seperti perilaku, sikap dan tindakan bawahan ataupun rekan kerja, fasilitas kerja dan iklim organisasi. Kinerja yang baik tentu saja merupakan harapan bagi semua perusahaan dan institusi yang mempekerjakan karyawan, sebab kinerja karyawan ini pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan.
Kualitas kehidupan kerja merupakan masalah utama yang patut mendapat perhatian organisasi ( Lewis dkk, 2001 ) Hal ini merujuk pada pemikiran bahwa kualitas kehidupan kerja dipandang mampu untuk meningkatkan peran serta dan sumbangan para anggota atau karyawan terhadap organisasi. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kualitas kehidupan kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan ( May dan Lau, 1999 ) Adanya kualitas kehidupan kerja juga menumbuhkan keinginan para karyawan untuk tetap tinggal dalam organisasi. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan positif antara praktek kualitas kehidupan kerja dengan kinerja karyawan ( Elmuti dan Kathawala, 1997 ) Kinerja dapat diukur melalui lima indikator :
a. Kualitas, yaitu hasil kegiatan yang dilakukan mendekati sempurna, dalam arti menyesuaikan beberapa cara ideal dari penampilan kegiatan dalam memenuhi tujuan yang diharapkan dari suatu kegiatan
b. Kuantitas, yaitu jumlah atau target yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah unit jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan
c. Pengetahuan dan ketrampilan, yaitu pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh pegawai dari suatu organisasi 
d. Ketepatan waktu, yaitu aktivitas yang diselesaikan pada waktu awal yang diinginkan dilihat dari sudut koordinasi dari hasil output serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain.
e. Komunikasi, yaitu hubungan atau interaksi dengan sesama rekan kerja dalam organisasi.
II.3 Komitmen Organisasional 
Komitmen organisasi adalah suatu nilai personal, dimana seringkali mengacu pada loyalitas terhadap perusahaan atau komitmen terhadap perusahaan ( Cherrington, 1994 ). Konsep komitmen muncul dari studi yang mengeksplorasi kaitan/hubungan antara karyawan dan orang. Motivasi untuk melakukan studi terhadap komitmen didasari pada suatu keyakinan bahwa karyawan yang berkomitmen akan mneguntungkan bagi perusahaan karena kemampuan potensialnya dan mengurangi turn over dan meningkatkan kinerja ( Mowday, 1998 ) Porter dkk ( dalam Meyer, 1989 ) mendefinisikan komitmen sebagai suatu kekuatan dari pengidentifikasian dan keterlibatan seorang individu dalam suatu organisasi tertentu, sedangkan Becker ( dalam Meyer, 1989 ) mendeskripsikan komitmen sebagai suatu tendensi atau kecenderungan untuk mengikatkan diri dalam garis dan aktivitas yang konsisten. Robbin ( 1998 ) mendefinsikan komitmen sebagai suatu keadaaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu perusahaan atau organisasi tertentu dan pada tujuan organisasi tersebut serta berniat untuk memelihara keanggotannya dalam organisasi. 
Menurut Mowday, Porter dan Steers ( dalam Luthans, 1995 ) dikatakan bahwa komitmen organisasi terdiri dari tiga faktor, yaitu :
1. Keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi 
2. Kemauan yang besar untuk berusaha bagi organisasi 
3. Kepercayaan yang kuat dan penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi. 
Ketiga karakteristik ini menyatakan bahwa komitmen organisasi melibatkan lebih dari sekedar loyalitas yang pasif terhadap organisasi. Hal ini melibatkan suatu hubungan yang aktif dengan organisasi, dimana para karyawan mempunyai kemampuan untuk memberikan diri mereka dan membuat suatu kontribusi personal untuk membantu organisasi mencapai kesukesan. ( Herrington, 1994 ) Dalam review mereka tentang literatur –literatur mengenai komitmen organisasi, Allen dan Meyer ( 1991)mengidentifikasikan tiga tema yang berbeda dalam pendefinisian komitmen, yaitu affective commitment atau komitmen afektif adalah komitmen sebagai suatu ikatan atau keterlibatan emosi dalam mengidentifikasi dan terlibat dalam organisasi, continuance commitment menunjukkan keputusan tetap mempertahankan keanggotaan dalam organisasi berdasarkan kalkulasi biaya yang harus ditanggung ( perceived cost ) jika memutuskan keluar dari organisasi, normative commitment adalah perasaan karyawan untuk berkewajiban tetap bergabung dengan organisasi. Oleh Allen dan Meyer, ketiga bentuk komitmen ini disebut sebagai : 
a. Affective commitment, didefinisikan sebagai sampai derajad manakah seorang individu terikat secara psikologis pada organisasi yang mempekerjakan melalui perasaan seperti loyalitas, terikat dan sepakat dengan tujuan organisasi. Dengan demikian, komitmen afektif seorang individu berhubungan dengan ikatan emosional atau identifikasi individu tersebut dengan organisasi.
b. Continuance commitment , mengacu pada suatu kesadaran tentang biaya yang diasosiasikan dengan meninggalkan organisasi. Kontinuen komitmen adalah suatu keadaan dimana karyawan merasa membutuhkan untuk tetap tinggal, dimana mereka berfikir bahwa meninggalkan perusahaan akan sangat merugikan  bagi mereka. Dengan kata lain individu dengan komitmen yang tinggi akan bertahan dalam organisasi karena mereka perlu akan hal itu.
c. Normative commitment , adalah suatu perasaan dari karyawan tetang kewajiban untuk bertahan dalam organisasi. Dalam hal ini menurut Brown dan Gaylor ( 2002 ) komitmen normatif dikarakterisasikan dengan keyakinan dari karyawan bahwa dia berkewajiban untuk tinggal / bertahan dalam suatu organisasi tertentu karena suatu loyalitas personal. Dengan kata lain karyawan dengan komitmen normatif yang tinggi akan bertahan dalam organisasi karena mereka merasa harus melakukan hal tersebut. 
Komitmen organisasi menurut Meyer dkk ( 1989) adalah suatu kualitas yang diinginkan yang harus dipelihara di kalangan karyawan. Dalam hal ini harus dilihat hal-hal yang dapat mempengaruhi komitmen seseorang. Cherrington ( 1994 ) mengidentifikasikan beberapa faktor yang kemudian dirangkum dalam 4 kategori:
1. Faktor personal, dimana komitmen organisasi secara general lebih besar antara karyawan yang telah tua dan lama bekerja dalam organisai. Mereka yang mempunyai nilai kerja intrinsik lebih mempunyai komitmen. Dalam kelompok,karyawan wanita cenderung untuk lebih berkomitmen terhadap perusahaan dibandingkan karyawan laki-laki. Karyawan yang berpendidikan rendah cenderung untuk mempunyai komitmen lebih tinggi daripada karyawan yang berpendidikan tinggi.
2. Karakteristik peran, dimana komitmen akan cenderung lebih kuat bagi karyawan yang memiliki enriched jobs dan pekerjaan yang melibatkan tingkatan yang rendah dari konflik peran dan ambiguitas.
3. Karakteristik struktural, komitmen akan lebih kuat pada karyawan yang berada dalam organisasi yang terdesentralisasi dan dalam kerjasama antara pemilik kerja dimana karyawan tersebut lebih terlibat dalam pembuatan keputusan organisasi.
4. Pengalaman kerja, komitmen akan kuat untuk karyawan dengan pengalama kerja yang menyenangkan, seperti sikap positif dalam kelompok seseorang terhadap orang lain, perasaan bahwa organisasi dapat diandalkan utnuk memenuhi komitmennya terhadap personil yang ada di dalamnya dan perasaan bahwa individu yang ada dalam organisasi merupakan hal yang penting bagi organisasi.
Riset Fields dan Thacker ( 1992 ) menyatakan bahwa komitmen harus dipandang secara strategis bagi perusahaan. Oleh karena itu banyaknya perusahaan yang dihabiskan waktu, tenaga dan dana untuk menggali komitmen sehubungan dengan aktivitasnya. Perusahaan membutuhkan identifikasi awal apa yang dibutuhkan para pekerja mereka. Perusahaan seharusnya tidak beranggapan bahwa keseluruhan tenaga kerja mereka pada semua tingkat mempunyai kebutuhan yang sama. Komitmen karyawan mungkin merupakan sebuah refleksi dari perekonomian sosial atau pengaruh kebudayaan. Teoritisi mengambil pendekatan hubungan manusia atau sumber daya manusia memberikan saran bahwa pekerja yang memiliki komitmen merupakan pekerja yang lebih produktif ( Wyaat dan Wah, 2001 )
Luthans ( 1996 ) menyatakan bahwa baik penelitian masa lalu maupun penelitian terakhir mendukung pengaruh komitmen organisasional terhadap hasil yang diinginkan, seperti kinerja serta berpengaruh negatif terhadap keinginan untuk pindah serta kemangkiran kerja.Kunci utama dalam komitmen adalah bagaimana perusahaan fokus terhadap nilai- nilai dasar dalam proses kualitas kehidupan kerja. Kualitas kehidupan kerja tersebut sangat berpengaruh meskipun belum banyak perusahaan yang mengadopsi komitmen organisasional sebagai budaya. Penelitian Fields dan Thacker ( 1992 ) menunjukkan bahwa suksesnya impelentasi program kualitas kehidupan kerja secara keseluruhan berdampak positif terhadap komitmen pekerja baik terhadap perusahaan. Sementara penelitian Zin (2004) menunjukkan bahwa untuk meningkatkan komitmen organisasional perusahaan harus mengembangkan kualitas kehidupan kerja dengan memberikan kesempatan bagi karyawan untuk mengembangkan diri melalui program pelatihan dan berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pekerjaan mereka. Hal ini sejalan dengan penelitian Gorden dan Infante ( dalam Zin 2004 )
II.4 Kepuasan Kerja 
Untuk mencapai produktivitas yang diharapkan, diperlukan adanya daya dukung dan kerja keras beserta komponen-komponen lainnya. Kepuasan kerja merupakan salah satu komponen yang mendukung tercapainya produktivitas yang dimaksud. Davis (dalam Iriana dkk, 2004 ) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sekumpulan perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan terhadap pekerjaan mereka. Kepuasan kerja dipandang sebagai perasaan senang atau tidak senang yang relatif, yang berbeda dari pemikiran objektif dan keinginan perilaku. Karena perasaan terkait dengan sikap seseorang, maka kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai sikap umum seseorang terhadap pekerjaan dan harapannya pada organisasi tempat ia bekerja. Kepuasan kerja menunjukkan pada sikap emosional positif yang berdasar pada pengalaman kerja seseorang ( Locke dalam Luthans 1998 )
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa karyawan yang puas lebih menyukai situasi kerjanya daripada tidak menyukai. Lebih lanjut kepuasan kerja juga merupakan salah satu komponen dari kepuasan hidup. Sehingga hal tersebut menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam pengembangan dan pemeliharaan tenaga kerja. Karena jika karyawan tidak mendapatkan kepuasan dalam pekerjaannya, maka motivasi mereka akan menurun, absensi dan keterlambatan meningkat dan akan sulit untuk bekerjasama dengan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja seseorang akan ikut menjadi penentu kelangsungan operasional suatu perusahaan. Kepuasan kerja biasanya berhubungan dengan teori keadilan, psikologis dan motivasi. Menurut Wexley dan Yulk, 1977 ( dalam As’ad, 1991 ) teori tentang kepuasan kerja dapat dikelompokkan menjadi 3 macam teori, yaitu :
 a. Disprepancy Theory ( Teori Perbedaan ) 
Teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter. Porter mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan Locke, 1996 ( dalam Sri Budi Cantika, 2004 ) juga menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung pada Disprepancy antara should be expectation, need or values dengan apa yang menurut perasaannya atau persepsinya telah dicapai atau diperoleh melalui pekerjaannya. Dengan demikian orang akan merasa puas jika tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum yang diinginkan telah tercapai. 
b. Equity Theory ( Teori Keseimbangan )
Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Adam ( 1963 ), pendahulu teori ini adalah Zeleznik ( 1958 ) dikutip Locke ( 1969 ) dalam As’ad ( 1991 ). Prinsip teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia akan merasakan adanya ketidakadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor ataupun di tempat lain. Adapun elemen-elemen dari teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu elemen input, outcome, comparison dan equity-in-equity. Yang dimaksud dengan input adalah semua nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang pelaksanaan kerja, contohnya : pendidikan, pengalaman, keahlian, usaha, dan lain-lain. Outcome adalah semua nilai yang diperoleh dan dirasakan pegawai sebagai hasil dari pekerjaannya, misalnya upah, keuntungan tambahan status simbol, pengenalan kembali ( recognition ), kesempatan untuk berprestasi atau ekspresi diri. Sedangkan comparison person dapat diartikan sebagai perasaan seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat lain, atau bisa juga dengan dirinya sendiri di waktu lampau. Equity-in-equity diartikan bahwa setiap karyawan akan membandingkan rasio input- outcomes dirinya sendiri dengan rasio input-outcomes orang lain ( comparison person) Bila perbandingannya cukup adil ( equity ) maka dan karyawan akan merasa puas. Bila perbandingan tersebut tidak seimbang tapi menguntungkan maka bisa menimbulkan kepuasan. Tetapi jika perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan maka akan timbul ketidakpuasan ( Wexley dan Yulk, 1977 dalam As’ad, 1991 )
c. Two Factor Theory ( Teori Dua Faktor)
Teori motivasi dua faktor yang dikemukakan oleh Herzberg adalah faktor yang membuat orang merasa puas dan tidak puas. Dalam pandangan yang lain, dua faktor yang dimaksudkan dalam teori motivasi Herzberg adalah dua rangkaian kondisi. Menurut Herzberg ada serangkaian kondisi yang menyebabkan orang merasa tidak puas. Jika kondisi itu ada dan tidak diperhatikan maka orang itu tidak akan termotivasi, faktor itu meliputi kondisi kerja, status, keamanan kerja, mutu dari penyelia, upah, prosedur perusahaan dan hubungan antar personal (Sri Budi Cantika, 2004 ) Kondisi kedua yang digambarkan oleh Herzberg adalah serangkaian kondisi intrinsik, kepuasan kerja yang apabila terdapat dalam pekerjaan akan menggerakkan tingkat motivasi kerja yang kuat, sehingga dapat menghasilkan prestasi kerja yang baik.  Apabila kondisi itu tidak ada, maka kondisi tersebut ternyata tidak menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan. Serangkaian kondisi ini biasa disebut sebagai satisfier atau motivator. Agar terdapat sifat kerja yang positif pada para bawahan , maka menurut Herzberg para manajer harusmemberi perhatian sungguh-sungguh terhadap faktor-faktor motivator kepada para bawahan. Faktor tersebut adalah sebagai berikut :
(a) keberhasilan pelaksanaan / achievement
 (b) tanggungjawab / responsibilities
(c) pengakuan / recognition
 (d) pengembangan / advancement
(e) pekerjaan itu sendiri/ the work itself.
Luthans ( 1998 ) menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki tiga dimensi, yaitu
(1) kepuasan kerja merupakan respon emosional terhadap situasi kerja, jadi tidak dapat dilihat, hanya bisa diduga
 ( 2) kepuasan kerja seringkali ditentukan oleh sejauh mana hasil kerja memenuhi / melebihi 
harapan seseorang. Contohnya jika anggota suatu departemen merasa telah bekerja lebih berat daripada anggota lain tetapi memperoleh pengharapan lebih sedikit dari yang mereka harapkan maka mereka mungkin akan bersifat negatif terhadap pekerjaan, atasan dan rekan kerjanya. Di lain pihak jika mereka merasa lingkungan kerja memberikan kepuasan kerja maka mereka akan bersikap positif terhadap pekerjaan mereka dan atasan mereka.
(3) kepuasan kerja mencerminkan hubungan dengan berbagai sikap lainnya. 
Smith ( dalam Robbin, 2001) menyatakan terdapat 5 dimensi yang mempengaruhi respon afektif seseorang terhadap pekerjaannya, yaitu : 
1. Pekerjaan itu sendiri, yaitu sejauh mana pekerjaan menyediakan kesempatan seseorang untuk belajar memperoleh tanggung jawab dalam suatu tugas tertentu dan tantangan untuk pekerjaan yang menarik 
2. Bayaran , yaitu upah yang diperoleh seseorang sebanding dengan usaha yang dilakukan dan sama dengan upah yang diterima oleh orang lain dalam posisi kerja yang sama
3. Kesempatan untuk promosi, yaitu kesempatan seseorang untuk meraih atau dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi dalam organisasi 
4. Atasan, yaitu kemampuan atasan untuk memberikan bantuan tehnis dan dukungan terhadap pekerjaan yang menjadi tanggung jawab para bawahan
5. Rekan kerja, yaitu sejauh mana rekan kerja secara tehnis cakap dan secara sosial mendukung tugas rekan kerja lainnya. 
Faktor-faktor  motivator  dalam kepuasan kerja secara tidak langsung merefleksikan praktek-praktek yang berhubungan dengan kualitas kehidupan kerja. Penemuan Field dan Thucker ( 1992 ) mengimplikasikan bahwa organisasi yang menginginkan pegawai yang puas dapat memilih pegawai dengan predisposisi memperoleh kepuasan atau menciptakan lingkungan kerja yang memfasilitasi kepuasan, atau semuanya dengan terlebih dahulu membangun kualitas kehidupan kerja. Penelitian oleh Farley dan Allen (1987) menunjukkan bahwa kondisi kerja yang buruk, pendapatan yang tidak memadai dan kurangnya otonomi serta kurangnya stabilitas kerja berakibat pada rendahnya kepuasan kerja di kalangan pekerja Afrika-Amerka .
Secara jelas dapat dikatakan bahwa kualitas kehidupan kerja dan kepuasan kerja sangat penting karena hal tersebut telah terlibat, berhubungan dengan hasil akhir positif organisasional yang lain. Sebagai contoh, pekerja yang puas dengan pekerjaan mereka memiliki tingkat absensi yang lebih rendah dan keinginan untuk pindah kerja yang kecil.Mereka juga lebih senang untuk menujukkan perilaku sebagai anggota organisasi tersebut dan puas dengan kualitas kehidupan kerja dalam organisasi tersebut secara keseluruhan.
Komitmen dan kepuasan kerja dapat mengarahkan pada kinerja karyawan, dimana kinerja karyawan yang tinggi terdapat di dalam kepuasan kerja yang lebih tinggi.Sebaliknya di dalam kinerja karyawan yang buruk terdapat kepuasan kerja yang lebih buruk ( Ostroff, 1992 ) Dengan kata lain, dalam kinerja karyawan yang meningkat yang bermula dari investasi perusahaan ada kontribusi komitmen dan kepuasan kerja karyawan pada perusahaan. Oleh karena itu semakin tinggi potensi kontribusi komitmen dan kepuasan kerja dalam suatu perusahaan, semakin mungkin perusahaan akan berinvestasi dalam kualitas kehidupan kerja dan bahwa investasi ini akan mengarah pada produktivitas individual dan kinerja karyawan yang lebih tinggi ( Pruijt, 2003 )
II.5 Skema pengaruh kualitas kehidupan kerja terhadap kinerja karyawan
Komitmen organisasi
 
                                                                                                    
                                                                                                 H4 
Kualitas KehidupanKerja

 
Kinerja Karyawan

 
                                 H2
                                                                      H1
Kepuasan Kerja
 



                                 H3                                                                       H5


Keterangan:
H 1 : Kualitas kehidupan kerja mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja karyawan
Pada dasarnya kinerja karyawan merupakan hasil proses yang kompleks, baik berasal dari diri pribadi karyawan ( internal factor ) maupun upaya strategis dari perusahaan ( Kartikandari, 2002 ). Faktor-faktor internal misalnya motivasi, tujuan, harapan dan lain-lain, sementara contoh faktor eksternal adalah lingkungan fisik dan non fisik perusahaan. Kinerja yang baik tentu saja merupakan harapan bagi semua perusahaan dan institusi yang mempekerjakan karyawan, sebab kinerja karyawan ini pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan.
Kualitas kehidupan kerja merupakan masalah utama yang patut mendapat perhatian organisasi ( Lewis dkk, 2001 ) Hal ini merujuk pada pemikiran bahwa kualitas kehidupan kerja dipandang mampu untuk meningkatkan peran serta dan sumbangan para anggota atau karyawan terhadap organisasi. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kualitas kehidupan kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan ( May dan Lau, 1999 ) Adanya kualitas kehidupan kerja juga menumbuhkan keinginan para karyawan untuk tetap tinggal dalam organisasi. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan positif antara praktek kualitas kehidupan kerja dengan kinerja karyawan ( Elmuti dan Kathawala, 1997 )
H 2 : Kualitas kehidupan kerja mempunyai pengaruh positif terhadap komitmen.
Kunci utama dalam komitmen adalah bagaimana perusahaan fokus terhadap nilai-nilai dasar dalam proses kualitas kehidupan kerja. Kualitas kehidupan kerja tersebut sangat berpengaruh meskipun belum banyak perusahaan yang mengadopsi komitmen organisasional sebagai budaya. Penelitian Fields dan Thacker ( 1992 ) menunjukkan bahwa suksesnya impelentasi program kualitas kehidupan kerja secara keseluruhan berdampak positif terhadap komitmen pekerja baik terhadap perusahaan maupun pada Serikat Pekerja. Sementara penelitian Zin (2004) menunjukkan bahwa untuk meningkatkan komitmen organisasional perusahaan harus mengembangkan kualitas kehidupan kerja dengan memberikan kesempatan bagi karyawan untuk mengembangkan diri melalui program pelatihan dan berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pekerjaan mereka. Hal ini sejalan dengan penelitian Gorden dan Infante ( dalam Zin 2004 )
H 3 : Kualitas kehidupan kerja mempunyai pengaruh positif terhadap kepuasan kerja.
Faktor-faktor motivator dalam kepuasan kerja secara tidak langsung merefleksikan praktek-praktek yang berhubungan dengan kualitas kehidupan kerja.Penemuan Field dan Thucker ( 1992 ) mengimplikasikan bahwa organisasi yang menginginkan pegawai yang puas dapat memilih pegawai dengan predisposisi memperoleh kepuasan atau menciptakan lingkungan kerja yang memfasilitasi kepuasan, atau semuanya dengan terlebih dahulu membangun kualitas kehidupan kerja. Penelitian oleh Farley dan Allen (1987) menunjukkan bahwa kondisi kerja yang buruk, pendapatan yang tidak memadai dan kurangnya otonomi serta kurangnya stabilitas kerja berakibat pada rendahnya kepuasan kerja di kalangan pekerja. Secara jelas dapat dikatakan bahwa kualitas kehidupan kerja dan kepuasan kerja sangat penting karena hal tersebut telah terlibat, berhubungan dengan hasil akhir positif organisasional yang lain. Sebagai contoh, pekerja yang puas dengan pekerjaan mereka memiliki tingkat absensi yang lebih rendah dan keinginan untuk pindah kerja yang kecil. Mereka juga lebih senang untuk menujukkan perilaku sebagai anggota organisasi tersebut dan puas dengan kualitas kehidupan kerja dalam organsiasi tersebut secara keseluruhan.
H 4 : Komitmen organisasional mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja karyawan
Salah satu tugas utama manajer adalah memotivasi para personel perusahaan agar memiliki kinerja yang tinggi. Manager yang dapat memberikan motivasi yang tepat untuk para personelnya akan membuahkan produktivitas yang maksimal, kinerja yang tinggi serta pertanggung jawaban perusahaan yang lebih baik. Memahami dimensi-dimensi yang relevan dengan motivasi personel akan menjadi sumber informasi yang berharga bagi siapa saja yang berkutat dengan kinerja perusahaan, begitu juga halnya dengan kemampuan untuk membuat penilaian obyektif tentang apa yang diinginkan personel dari pekerjaan mereka. Hal ini berguna untuk merumuskan kebijakan personal, perencanaan startegis maupun untuk merekayasa ulang proses guna mencapai tujuan produktivitas dan efisiensi
H 5 : Kepuasan kerja mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja karyawan.
Pada dasarnya, kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individu setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai-nilai yang berlaku pada dirinya,ini disebabkan oleh adanya perbedaan pada dirinya dan masing-masing individu. Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan sesuai dengan keinginan individu tersebut, maka semakin tinggi tingkat kepuasan dirasakan dan sebaliknya.Hubungan antara bawahan dengan pihak pimpinan sangat penting artinya dalam meningkatkan produktivitas kerja. Kepuasan kerja dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan, sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja.










BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Kualitas kehidupan kerja secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada kinerja karyawan. Kualitas kehidupan kerja melalui dimensi-dimensi pertumbuhan dan pengembangan, partisipasi, upah dan keuntungan serta lingkungan kerja di dalam perusahaan akan berpengaruh pada peningkatan kinerja karyawan. Semakin baik kualitas kehidupan kerja maka semakin tinggi pula kinerja yang ditunjukkan. kualitas kehidupan kerja juga berpengaruh terhadap peningkatan komitmen organisasional dan selanjutnya berpengaruh pada kinerja karyawan. Semakin kuat komitmen organisasional maka semakin baik pula kinerja karyawan yang bersangkutan.
















DAFTAR PUSTAKA

As’ad, Mohamad.,1991, Kepemimpinan Efektif dalam Perusahaan, SuatuPendekatan Psikologik, Edisi Kedua, Liberty, Yogyakarta 
Anwar Prabu Mangkuegara, DR., Msi., 2006, Evaluasi Kinerja SDM, EdisiKedua, Refika Aditama, Bandung 
Bernardin, H. John dan Russel, J.E.A., 1993, Humans Resource Management : an Experimental Approach, International Edition, Singapore, McGraw Hill. Inc. 

Sri Budi Cantika, 2005, Manajemen Sumber Daya Manusia, UMM Press, Malang