ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY (AEC)
PELUANG ATAU TANTANGAN?
Disusun Oleh :
Agi
Andrianto (11-311-029)
PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK
2013-2014
ASEAN ECONOMIC
COMMUNITY (AEC) , PELUANG ATAU TANTANGAN?
Indonesia
boleh saja berbangga dengan pertumbuhan ekonomi yang terbilang stabil di
beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi yang cenderung stabil bahkan
berkembang di tengah krisis global adalah sebuah prestasi tersendiri bagi
Indonesia. Ditambah lagi dengan perkembangan status ekonomi masyarakat kelas
menengah ke atas yang tergolong pesat. Namun tantangan global terus
mengiringi perjalanan Indonesia menuju negara maju. Wujud nyata tantangan
tersebut dimulai dari ruang lingkup regional. ASEAN Economic Community (AEC)
2015 akan menjadi tantangan sekaligus peluang Indonesia dalam waktu dekat.
Tantangan tentu saja tidak bisa dihadapi tanpa adanya persiapan dan kekuatan
yang matang dari segenap sektor yang dipengaruhi oleh era kebebasan perdagangan
ini. Pertanyaannya adalah, seberapa “siapkah” Indonesia dalam menghadapi AEC
2015.
ASEAN Economis
Community merupakan
salah satu bentuk Free Trade Area(FTA) dan berlokasi di kawasan Asia
Tenggara. AEC ini terintegrasi lewat kerja sama ekonomi regional yang diharapkan
mampu memberikan akses yang lebih mudah, tidak terkecuali perdagangan.
Indonesia adalah market yang
cukup besar bagi produsen-produsen suatu produk menawarkan barangnya. Banyak
produsen luar negeri beranggapan Indonesia menjadi salah satu sasaran pemasaran
yang paling menguntungkan dibandingkan negara-negara berkembang lainnya. Dengan
diterapkannya blueprint perdagangan tanpa batas yang diramal terjadi di tahun
2015 mendatang tentunya Indonesia memiliki peluang sekaligus tantangan dalam
hal perdagangan internasional.
Tarif
yang hampir 80% menggunakan zero percent tentunya
akan mempermudah Indonesia memasuki pangsa pasar bahan baku dari negara
tetangga, mengingat tidak semua bahan baku ada di Indonesia. Keadaan ini akan
memicu persaingan yang lebih kompetitif baik dalam lingkup domestik maupun
internasional. Disamping itu, nama Indonesia yang dikenal sebagai market potensial dengan jumlah penduduk yang
besar diharapkan mampu menarik para investor luar negeri yang ingin menanamkan
modalnya di Indonesia. Tentu saja di sini pemerintah mempunyai peranan penting
dalam mengatur kebijakan terhadap para investor agar tidak saja mencari
keuntungan, tetapi mampu meningkatkan tingkat perekonomian Indonesia. Jika
pemerintah tidak melakukan analisis terhadap permasalahan tesebut, beberapa
sektor industri akan mengalami titik kelemahan ketika FTA benar-benar
diimplementasikan.
Negara-negara di ASEAN yang dikenal sebagai
komoditi ekspor berbasis sumber daya alam terbesar di Asia juga menjadikan
peluang dalam persaingan pasar produksi dengan surplus pada neraca transaksi. Konsentrasi
perdagangan ke luar ASEAN memang mengalami penurunan sejak tahun 1993 dari 80%
menjadi sekitar 73% pada akhir tahun 2008. Keadaan ini berbanding terbalik
dengan perdagangan intra-ASEAN yang meningkat dari 19% menjadi 26% di tahun
yang sama. Indonesia yang menjadi salah satu pemain penting dalam percaturan
dagang di ASEAN memiliki presentase impor yang tidak berimbang dengan ekspor
baik dalam lingkup intra-ASEAN maupun ke luar ASEAN. Keadaan ini harus dipahami
oleh pemerintah sehingga nantinya terdapat solusi sebelum perdagangan bebas
mendominasi pangsa pasar.
Tantangan
muncul ketika peluang menghadirkan berbagai resiko di dalamnya. Tantangan yang
harus dihadapi Indonesia menghadapi perdagangan bebas tidak hanya berada pada
permasalahan dometik, tetapi di dalam lingkup internasional khususnya kawasan
Asia Tenggara. Kinerja ekspor menunjukkan Indonesia berada pada peringkat ke-4
di kawasan ASEAN di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand di akhir tahun
2008. Di samping itu kinerja impor juga tidak menunjukkan kekuatan Indonesia
sebagai negara penghasil bahan baku dengan berada pada peringkat ke-3 di bawah
Singapura dan Malaysia di tahun yang sama. Apabila kondisi daya saing tidak
segera diperbaiki, defisit terhadap negara-negara tersebut akan semakin
membesar dan menjadi ancaman yang sangat serius bagi perekonomian Indonesia.
Keadaan ini sebenarnya bisa diperbaiki dengan memperbaiki produk-produk yang
akan diproduksi. Produk-produk yang diciptakan oleh negara-negara ASEAN selama
ini menunjukkan kesamaan yang akan berakibat pada persaingan yang cenderung monoton.Indonesia
harus secara teliti melihat keadaan ini sebagai peluang atau tantangan, melihat
negara ini memiliki sumber daya alam yang lebih dibandingkan negara-negara
ASEAN lainnya.
Indonesia
dalam KTT ASEAN ke-21 di Phnom Penh tahun 2012, ditunjuk sebagai motor
penggerak dalam mengintegrasikan kekuatan Asia Tenggara di dunia global.
Bersama-sama dengan Singapura dan Thailand, Indonesia berada di baris terdepan
dalam mengimplementasikan konsep-konsep yang telah disepakati. Keadaan ini
diperkuat dengan optimisme Menteri Perdagangan RI Gita Wiryawan yang
menyebutkan bahwa AEC ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan
pendapatan per kapita. Dengan konsep Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) diharapkan mampu meningkatkan
posisi tawar dalam perekonomian global bersaing dengan blok-blok integrasi
lainnya di luar Asia.
Tentunya peluang ini harus dimaksimalkan oleh seluruh
negara ASEAN dengan persiapan di semua sektor. Tujuan utama dari 10 negara ini
adalah tingkat perekonomian yang merata di samping mendapatkan kemudahan akses
ekonomi regional. Melihat keadaan memang tidak selalu seperti yang diharapkan.
Persaingan yang terlalu kompetitf memicu kesenjangan ekonomi antar negara.
Singapura misalnya, negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di ASEAN ini
tentunya tidak bisa dibandingkan bahkan disamaratakan dengan negara-neara
berkembang di kawasan Asia Tenggara. Indonesia sebagai salah satu negara
berkembang harus teliti dan cermat dalam “kebebasan” ini. Peluang dan tantangan
harus dianalisis, ditanggapi, dan diimplementasikan secara konseptual sehingga
nantinya Indonesia tidak hanya menjadi marketbagi para investor luar saja, melainkan mampu
mengendalikan pasar internasional.
ASEAN Community terdiri atas tiga
pilar utama yang saling terintegrasi, yakni ASEAN Security Community, ASEAN
Economic Community, dan ASEAN Socio-Culture Community. Adapun tujuan dari AEC
ini adalah untuk mendorong efisiensi dan daya saing ekonomi di kawasan ASEAN,
meliputi empat hal, yaitu menuju single market dan production base, menuju
penciptaan kawasan regional ekonomi yang berdaya saing tinggi, menuju satu
kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata serta menuju integrasi penuh
pada ekonomi global.
Tentu saja, penerapan AEC ini akan
berdampak pada perekonomian negara-negara di kawasan ASEAN. Terbukanya
akses-akses ekonomi akan memunculkan persaingan di sektor usaha semakin tinggi.
Bukan hanya bersaing di dalam negeri, pengusaha-pengusaha Indonesia akan
berhadapan secara langsung dengan pengusaha di tingkat regional.
Indonesia di Persimpangan Jalan
Penerapan AEC 2015 meletakkan
perekonomian Indonesia di tengah persimpangan. Pertama, jika Indonesia mampu
memanfaatkannya, perekonomian Indonesia akan mencapai kejayaan. Kejayaan dalam
arti Indonesia sebagai bangsa besar yang berpengaruh dan dihormati dunia,
khususnya ASEAN, karena mampu memanfaatkan semangat globalisasi. Artinya,
dengan penerapan AEC 2015, terbuka pasar yang lebih luas bagi pengusaha
Indonesia.
Jika pengusaha-pengusaha Indonesia
bisa bersaing dengan pengusaha ASEAN, terbuka kemungkinan untuk melakukan
ekspansi ke negara tetangga. Persimpangan kedua, perekonomian Indonesia akan
terjun bebas. Artinya Indonesia hanya dimanfaatkan sebagai pasar bagi berbagai
komoditas barang dan jasa negara-negara ASEAN. Dengan tingkat kondusivitas
pertumbuhan perekonomian serta jumlah populasi penduduk terbesar di ASEAN,
sangat memungkinkan skenario ini terjadi.
Pasar domestik Indonesia merupakan
pasar yang sangat menggiurkan bagi berbagai produk impor. Melihat realitas
tantangan yang dihadapi, Indonesia harus mulai berbenah. Tidak banyak waktu
bagi Indonesia untuk memperbaiki daya saing perekonomian nasional. Padahal
begitu banyak yang perlu segera dilakukan untuk mengatasi berbagai
ketertinggalan, khususnya dalam kecepatan doing business, peraturan dan
perundangan, birokrasi, permodalan, infrastruktur, dan kualitas produk.
Peningkatan daya saing adalah kebutuhan masa kini yang harus segera dipenuhi.
Pada 2013 ini ada beberapa tantangan
yang dihadapi sektor usaha nasional dalam upaya peningkatan daya saing
perekonomian nasional: tarik ulur kenaikan harga BBM bersubsidi, kenaikan tarif
dasar listrik, dan kenaikan upah minimum. Belum lagi tarik ulur masalah
ketenagakerjaan, tingkat korupsi yang masih tinggi, hingga masalah maraknya
pungutan liar. Mau tidak mau, permasalahan tersebut harus segera diatasi.
Apalagi pada 2013 ini Indonesia sudah memasuki tahun politik. Seluruh
konsentrasi nasional akan terpusat pada proses suksesi nasional yang akan
berlangsung pada 2014.
Namun, tanpa disadari masyarakat
umum, seiring berakhirnya pemilu, ada tantangan yang lebih besar, yaitu AEC
2015. Kita berharap, adanya AEC 2015 akan memicu tumbuhnya pengusaha-pengusaha
yang bukan hanya mampu bersaing di panggung nasional, tetapi juga mampu
bersaing di tataran global. Peluang emas saat ini terpampang di depan mata.
Sangat sayang jika peluang emas tersebut tidak bisa dimanfaatkan Indonesia.
Saat ini perusahaan nasional sulit meningkatkan daya saing dikarenakan hambatan
ekonomi biaya tinggi, iklim investasi yang belum kondusif, serta hambatan
kapasitas institusional.
Padahal peluang emas tersebut
seyogianya menjadi faktor pemercepat bagi terwujudnya “Asianisme” yang sudah
diprediksi banyak pihak sebelumnya. Asianisme—menggantikan Westernisme—adalah
fenomena atau tepatnya zaman di mana perekonomian dunia digerakkan oleh
perekonomian di Asia, khususnya Asia Tenggara. Yang perlu dicatat, Asianisme
tidak hanya terbatas pada pengertian Asia sebagai pasar, tapi juga Asia sebagai
produsen barang dan jasa dengan kualitas dan harga yang sangat kompetitif bagi
pasar-pasar negara Barat.
Sayangnya baru sedikit dari
perusahaan Indonesia yang memiliki kemampuan untuk menembus pasar regional dan
internasional. Justru yang terjadi sebaliknya. Di pasar dalam negeri sendiri
pun produsen nasional kalah bersaing dengan barang dan jasa impor. Hal itu
patut disayangkan karena sebelum merambah pasar regional, produsen nasional
sebaiknya mendominasi pasar dalam negeri terlebih dahulu. Apalagi mengingat
ukuran pasar Indonesia yang begitu besar, setiap produsen nasional memiliki
kesempatan untuk mencapai skala ekonomis yang cukup besar sehingga menurunkan
ongkos produksi secara signifikan.
Hal itulah yang dilakukan China
secara agresif dalam dua dekade terakhir, khususnya setelah menjadi anggota
World Trade Organization (WTO). Akibatnya, perusahaan nasional yang sudah
membangun pangsa pasar selama bertahun-tahun justru khawatir pasarnya tergerus
dalam sekejap oleh impor dari China yang jauh lebih murah dengan kualitas yang
sering kali lebih baik. Oleh karena itu, dalam pandangan saya, dalam menghadapi
AEC ada beberapa sektor yang harus dibenahi. Pertama, memberlakukan kebijakan
yang tepat untuk meningkatkan daya saing sektor usaha nasional milik negara
maupun swasta di seluruh sektor unggulan di seluruh Nusantara.
Hal ini dapat dilakukan dengan
perbaikan indikator doing business dan kepastian hukum. Kedua, penyediaan
infrastruktur yang akan memotong praktik ekonomi biaya tinggi. Ketiga, menjaga
stabilitas nasional jelang Pemilu 2014 dan menjaga konsistensi kebijakan
pasca-2014. Keempat, perumusan kebijakan yang berpihak pada pengusaha pemula dan
pengusaha lokal. Kelima, mempermudah akses permodalan. Keenam, melakukan
pencitraan Indonesia di berbagai forum internasional. Hal ini dilakukan dengan
memanfaatkan keikutsertaan Indonesia di forumforum internasional.
LANGKAH STRATEGIS EKONOMI INDONESIA
MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY
Association
of South East Asian Nation (ASEAN) dengan mantap memastikan diri masuk dalam
babak baru percaturan geoekonomi dan geopolitik global. Hal ini ditandai dengan
ekonomi China, India sebagai mitra utama ASEAN melaju pesat. Posisi ASEAN
sebagai kawasan strategis diintegrasi dengan beberapa langkah strategis yang
diambil organisasi yang beranggotakan 10 negara di Asia Tenggara minus Timor
Leste ini dalam mewujudkan ASEAN Community. Dalam mewujudkan ASEAN Community ini
ada tiga pilar utama, yaitu pilar pertama politik-keamanan dengan menciptakan
ASEAN Political Security Community (APSC), pilar kedua ekonomi dengan upaya
menciptakan ASEAN Economic Community (AEC) dan pilar ketiga sosial-budaya
dengan upaya mewujudkan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC).
Berdasar
analisis dari Road Map HIPMI, setidaknya terdapat tiga indikator yang digunakan
untuk meraba posisi Indonesia di ekonomi ASEAN. Pertama, pangsa ekspor
Indonesia ke negara-negara ASEAN cukup besar. Nilai ekspor Indonesia ke
Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand mencapai 13,9 persen dari total
ekspor Indonesia pada 2005. Kedua, daya saing ekonomi Indonesia buruk
dibandingkan negara ASEAN lainnya. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Forum
Ekonomi Dunia dalam Global Competitiveness Index 2011-2012, peringkat Indonesia
turun menjadi peringkat 46 dari peringkat 44 pada 2010. Ketiga, percepatan
investasi di Indonesia tertinggal bila dibandingkan negara ASEAN lainnya.
Selain akibat dari sisa krisis ekonomi, rendahnya investasi dipicu pula oleh
buruknya infrastruktur ekonomi, kelambanan birokrasi, dan mahalnya izin usaha.
Berkaitan dengan hal ini, Indonesia harus serius mempersiapkan diri.
Selanjutnya
untuk mewujudkan kesiapan dibidang ekonomi Indonesia dalam menyongsong ASEAN
Community 2015, kebijakan-kebijakan dan langkah strategis yang berkaitan dengan
peningkatan daya saing produk Indonesia untuk pasar global dan penanganan
strategis untuk poin ketiga dalam indikator posisi Indonesia di ekonomi ASEAN.
Untuk menghadapi AEC 2015 tiga langkah strategis ini mungkin harus segera
dipersiapkan: meningkatkan kesiapan sarana dan prasarana transportasi dan
komunikasi yang mengkoneksikan seluruh wilayah Indonesia sebagai negara
kepulauan dalam satu kesatuan, penerapan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam mendukung pemajuan kualitas produksi pangan dan non pangan
secara berkelanjutan dan ramah lingkungan, dan mewujudkan Badan Publik
(Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif) yang transparan, akuntabel menuju good governance dan clean government(Tatakelola pemerintahan yang baik dan
pemerintahan yang bersih) atau anti KKN. Dalam rangka meningkatkan kesiapan
sarana dan prasarana, Kementerian PU, Perhubungan, Pemerintah daerah secara
sinergi membangun infrastruktur transportasi di seluruh wilayah Indonesia
khususnya sentra-sentra produksi pertanian, peternakan, perkebunan dan
perikanan baik transportasi darat, laut dan udara dengan memperhatikan sistem
yang berkelanjutan dan kelestarian alam dan lingkungan. Sebagai contoh adalah
Kementerian Perhubungan, Kementerian PU dan Pemda membangun jaringan prasarana
dan penyediaan sarana transportasi antar moda, antar pulau yang terintegrasi
seperti membangun terminal bandara, terminal angkutan darat dan pelabuhan laut
baik skala internasional, antar provinsi dan antar pulau kecil, terluar dan
tertinggal. Selanjutnya untuk langkah strategis kedua, Kementerian Ristek dan
BPPT bersama pemangku kepentingan lainnya sudah seharusnya dapat mengoptimalkan
pelaksanaan Undang-undang Nomor 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam
rangka meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global. Namun, kedua
langkah strategis tersebut tidak akan dapat berjalan apabila langkah strategis ketiga
ini tidak dapat dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah melalui
Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pemberdayaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi dan Komisi Informasi Pusat bersama organisasi
non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap perwujudan
pemerintahan yang bersih secara sistemik harus mampu melaksanakan undang-undang
No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan cara-cara
sosialisasi, edukasi, pengawasan, pengecekan dan penyelesaian sengketa
informasi publik. Pada akhirnya dengan dapat memenuhi tiga langkah strategis di
atas seluruh faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia, seperti
SDA, SDM, teknologi, budaya, dan modal, dapat berkembang secara koheren bersiap
menghadapi AEC 2015
BERDASARKAN NERACA
percepatan
pelaksanaan AEC (ASEAN Economic Community) dari tahun 2020 menjadi 2015, dengan
tujuan menjadikan kawasan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi
regional, kawasan yang memiliki daya saing tinggi, kawasan pemerataan
pengembangan ekonomi dan sebagai sarana menuju perekonomian global, diperlukan
peta strategi yang jelas dan peran para pemangku kepentingan dari Pemerintah
maupun pelaku usaha.
AEC 2015 secara
umum dituntut adanya daya saing yang baik dari ASEAN maupun seluruh anggotanya
untuk dapat mempeoleh semua hasil maksimal yang dapat diraih dari kerjasama
ini. Tentunya untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan adanya persiapan yang
baik dari seluruh anggota ASEAN termasuk Indonesia, yang pelaksanaannya sesuai
dengan cetak biru AEC 2015 yang telah disepakati oleh seluruh anggota ASEAN.
Menurut Menteri
Perdagangan Gita Wirjawan, persiapan Indonesia menghadapi AEC 2015 sebesar 72%,
dia mengaku masih ada keterbatasan dalam menyambut AEC yang tidak hanya berada
di Indonesia tetapi juga sembilan negara ASEAN lain. “Tantangannya adalah
bagaimana mengejar kemajuan industrialisasi sejumlah negara ASEAN lain dalam
sisa waktu yang ada. Keterbatasan di Indonesia jelang AEC tidak ada, untuk
infrastruktur pendukung memang tidak sempurna 100%, namun pembangunan menjurus
ke sana," jelasnya kepada wartawan di Kementerian Perdagangan, Jum’at
(31/8).
Pengenalan AEC
Selain itu,
tantangan yang juga harus diselesaikan oleh sejumlah negara ASEAN adalah upaya
pengenalan AEC kepada masyarakat. Ternyata masih banyak yang belum mengetahui
mengenai AEC oleh berbagai kalangan di Indonesia, baik di kalangan pemerintah
pusat, daerah, dan kalangan dunia usaha. Ini merupakan tantangan yang
membutuhkan tanggapan yang tepat dan cepat, tetapi yang tentunya tidak mudah
untuk bisa meyakinkan para pemangku kepentingan dan pengusaha yang selama ini
tidak menjadikan ASEAN sebagai pasar atau sasaran investasi yang penting.
Secara umum AEC
memiliki 12 sektor prioritas, yakni produk-produk berbasis pertanian, otomotif, elektronik,
perikanan, poduk berbasis karet, tekstil dan
pakaian, produk berbasis kayu, perjalanan udara, e-ASEAN, kesehatan, pariwisata, dan logistik. Sektor tersebut yang paling
diminati anggota ASEAN, dan menjadi
ajang untuk bersaing satu sama lain. Gagasannya adalah jika
sektor-sektor ini diliberalisasikan
secara penuh, maka akan mengembangkan keunggulan masing-masing sektor dengan
menarik investasi dan perdagangan, serta
membantu mengembangkan produk-poduk buatan ASEAN.
Liberalisasi Tenaga
Kerja
Namun, dari sisi
ketenagakerjaaan dalam skema AEC 2015 hanya memberlakukan liberalisasi tenaga
kerja profesional papan atas, seperti dokter, insinyur, akuntan dan sebagainya.
Disayangkannya, tenaga kerja informal yang selama ini merupakan sumber devisa
yang cukup potensional bagi Indonesia, cenderung dibatasi pergerakannya di AEC
2015 nanti. Maka, kualitas Smber Daya Manusia (SDM) harus ditingkatkan agar
bisa digunakan baik dalam negeri maupun intra-ASEAN, selain itu untuk mencegah
banjirnya tenaga kerja terampil dari luar negeri.
Ketua Komite Komite
Tetap Sertifikasi Tenaga Kerja Kadin Indonesia Djimanto pernah mengingatkan
perdagangan bebas bukan selalu tentang barang. Namun, jasa atau tenaga kerja
termasuk yang diatur oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait
perdagangan bebas. Apalagi saat memasuki AEC 2015, akan ada kelonggaran bagi
keluar masuknya tenaga kerja antar negara Asia Tenggara. Maka tenaga kerja
Indonesia perlu mempersiapkan diri.
Menurut
dia, tenaga kerja nasional perlu meningkatkan daya saingnya. Kalau tidak, bisa
kalah dengan tenaga kerja asing yang berasal dari negara-negara tetangga. “Jadi
oleh karena itu perlu suatu pengukuran standar kompetensi,” terangnya. Dia
menjelaskan, bahwa program pelatihan, sertifikasi, serta penempatan tenaga
kerja (3P) juga menjadi keharusan dalam menyongsong AEC 2015. Tapi, tenaga
kerja yang berkompetensi bagus pun belum tentu mampu melakukan pekerjaan dengan
maksimal, sebab harus menjaga tingkat produktivitas dan daya saing industri
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
http://fmeindonesia.wordpress.com/2013/03/12/asean-economic-community-aec-2015-peluang-atau-tantangan.
SUMBER BANK INDONESIA,MENUJU ASEAN
ECONOMIC COMMUNITY 2015
DEPARETEMEN PERDAGANGAN INDONESIA
www.google.com