Halaman

ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) , PELUANG ATAU TANTANGAN?

0   komentar

ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC)
 PELUANG ATAU TANTANGAN?




Disusun Oleh :
Agi Andrianto (11-311-029)


PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK
2013-2014



ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) , PELUANG ATAU TANTANGAN?

Indonesia boleh saja berbangga dengan pertumbuhan ekonomi yang terbilang stabil di beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi yang cenderung stabil bahkan berkembang  di tengah krisis global adalah sebuah prestasi tersendiri bagi Indonesia. Ditambah lagi dengan perkembangan status ekonomi masyarakat kelas menengah ke atas yang tergolong pesat.  Namun tantangan global terus mengiringi perjalanan Indonesia menuju negara maju. Wujud nyata tantangan tersebut dimulai dari ruang lingkup regional. ASEAN Economic Community (AEC) 2015 akan menjadi tantangan sekaligus peluang Indonesia dalam waktu dekat. Tantangan tentu saja tidak bisa dihadapi tanpa adanya persiapan dan kekuatan yang matang dari segenap sektor yang dipengaruhi oleh era kebebasan perdagangan ini. Pertanyaannya adalah, seberapa “siapkah” Indonesia dalam menghadapi AEC 2015.
ASEAN Economis Community merupakan salah satu bentuk Free Trade Area(FTA) dan berlokasi di kawasan Asia Tenggara. AEC ini terintegrasi lewat kerja sama ekonomi regional yang diharapkan mampu memberikan akses yang lebih mudah, tidak terkecuali perdagangan. Indonesia adalah market yang cukup besar bagi produsen-produsen suatu produk menawarkan barangnya. Banyak produsen luar negeri beranggapan Indonesia menjadi salah satu sasaran pemasaran yang paling menguntungkan dibandingkan negara-negara berkembang lainnya. Dengan diterapkannya blueprint perdagangan tanpa batas yang diramal terjadi di tahun 2015 mendatang tentunya Indonesia memiliki peluang sekaligus tantangan dalam hal perdagangan internasional.
Tarif yang hampir 80% menggunakan zero percent tentunya akan mempermudah Indonesia memasuki pangsa pasar bahan baku dari negara tetangga, mengingat tidak semua bahan baku ada di Indonesia. Keadaan ini akan memicu persaingan yang lebih kompetitif baik dalam lingkup domestik maupun internasional. Disamping itu, nama Indonesia yang dikenal sebagai market potensial dengan jumlah penduduk yang besar diharapkan mampu menarik para investor luar negeri yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Tentu saja di sini pemerintah mempunyai peranan penting dalam mengatur kebijakan terhadap para investor agar tidak saja mencari keuntungan, tetapi mampu meningkatkan tingkat perekonomian Indonesia. Jika pemerintah tidak melakukan analisis terhadap permasalahan tesebut, beberapa sektor industri akan mengalami titik kelemahan ketika FTA benar-benar diimplementasikan.
 Negara-negara di ASEAN yang dikenal sebagai komoditi ekspor berbasis sumber daya alam terbesar di Asia juga menjadikan peluang dalam persaingan pasar produksi dengan surplus pada neraca transaksi. Konsentrasi perdagangan ke luar ASEAN memang mengalami penurunan sejak tahun 1993 dari 80% menjadi sekitar 73% pada akhir tahun 2008. Keadaan ini berbanding terbalik dengan perdagangan intra-ASEAN yang meningkat dari 19% menjadi 26% di tahun yang sama. Indonesia yang menjadi salah satu pemain penting dalam percaturan dagang di ASEAN memiliki presentase impor yang tidak berimbang dengan ekspor baik dalam lingkup intra-ASEAN maupun ke luar ASEAN. Keadaan ini harus dipahami oleh pemerintah sehingga nantinya terdapat solusi sebelum perdagangan bebas mendominasi pangsa pasar.
Tantangan muncul ketika peluang menghadirkan berbagai resiko di dalamnya. Tantangan yang harus dihadapi Indonesia menghadapi perdagangan bebas tidak hanya berada pada permasalahan dometik, tetapi di dalam lingkup internasional khususnya kawasan Asia Tenggara. Kinerja ekspor menunjukkan Indonesia berada pada peringkat ke-4 di kawasan ASEAN di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand di akhir tahun 2008. Di samping itu kinerja impor juga tidak menunjukkan kekuatan Indonesia sebagai negara penghasil bahan baku dengan berada pada peringkat ke-3 di bawah Singapura dan Malaysia di tahun yang sama. Apabila kondisi daya saing tidak segera diperbaiki, defisit terhadap negara-negara tersebut akan semakin membesar dan menjadi ancaman yang sangat serius bagi perekonomian Indonesia. Keadaan ini sebenarnya bisa diperbaiki dengan memperbaiki produk-produk yang akan diproduksi. Produk-produk yang diciptakan oleh negara-negara ASEAN selama ini menunjukkan kesamaan yang akan berakibat pada persaingan yang cenderung monoton.Indonesia harus secara teliti melihat keadaan ini sebagai peluang atau tantangan, melihat negara ini memiliki sumber daya alam yang lebih dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.
Indonesia dalam KTT ASEAN ke-21 di Phnom Penh tahun 2012, ditunjuk sebagai motor penggerak dalam mengintegrasikan kekuatan Asia Tenggara di dunia global. Bersama-sama dengan Singapura dan Thailand, Indonesia berada di baris terdepan dalam mengimplementasikan konsep-konsep yang telah disepakati. Keadaan ini diperkuat dengan optimisme Menteri Perdagangan RI Gita Wiryawan yang menyebutkan bahwa AEC ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan pendapatan per kapita. Dengan konsep Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) diharapkan mampu meningkatkan posisi tawar dalam perekonomian global bersaing dengan blok-blok integrasi lainnya di luar Asia.
 Tentunya peluang ini harus dimaksimalkan oleh seluruh negara ASEAN dengan persiapan di semua sektor. Tujuan utama dari 10 negara ini adalah tingkat perekonomian yang merata di samping mendapatkan kemudahan akses ekonomi regional. Melihat keadaan memang tidak selalu seperti yang diharapkan. Persaingan yang terlalu kompetitf memicu kesenjangan ekonomi antar negara. Singapura misalnya, negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di ASEAN ini tentunya tidak bisa dibandingkan bahkan disamaratakan dengan negara-neara berkembang di kawasan Asia Tenggara. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang harus teliti dan cermat dalam “kebebasan” ini. Peluang dan tantangan harus dianalisis, ditanggapi, dan diimplementasikan secara konseptual sehingga nantinya Indonesia tidak hanya menjadi marketbagi para investor luar saja, melainkan mampu mengendalikan pasar internasional.
ASEAN Community terdiri atas tiga pilar utama yang saling terintegrasi, yakni ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Socio-Culture Community. Adapun tujuan dari AEC ini adalah untuk mendorong efisiensi dan daya saing ekonomi di kawasan ASEAN, meliputi empat hal, yaitu menuju single market dan production base, menuju penciptaan kawasan regional ekonomi yang berdaya saing tinggi, menuju satu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata serta menuju integrasi penuh pada ekonomi global.
Tentu saja, penerapan AEC ini akan berdampak pada perekonomian negara-negara di kawasan ASEAN. Terbukanya akses-akses ekonomi akan memunculkan persaingan di sektor usaha semakin tinggi. Bukan hanya bersaing di dalam negeri, pengusaha-pengusaha Indonesia akan berhadapan secara langsung dengan pengusaha di tingkat regional.

Indonesia di Persimpangan Jalan
Penerapan AEC 2015 meletakkan perekonomian Indonesia di tengah persimpangan. Pertama, jika Indonesia mampu memanfaatkannya, perekonomian Indonesia akan mencapai kejayaan. Kejayaan dalam arti Indonesia sebagai bangsa besar yang berpengaruh dan dihormati dunia, khususnya ASEAN, karena mampu memanfaatkan semangat globalisasi. Artinya, dengan penerapan AEC 2015, terbuka pasar yang lebih luas bagi pengusaha Indonesia.
Jika pengusaha-pengusaha Indonesia bisa bersaing dengan pengusaha ASEAN, terbuka kemungkinan untuk melakukan ekspansi ke negara tetangga. Persimpangan kedua, perekonomian Indonesia akan terjun bebas. Artinya Indonesia hanya dimanfaatkan sebagai pasar bagi berbagai komoditas barang dan jasa negara-negara ASEAN. Dengan tingkat kondusivitas pertumbuhan perekonomian serta jumlah populasi penduduk terbesar di ASEAN, sangat memungkinkan skenario ini terjadi.
Pasar domestik Indonesia merupakan pasar yang sangat menggiurkan bagi berbagai produk impor. Melihat realitas tantangan yang dihadapi, Indonesia harus mulai berbenah. Tidak banyak waktu bagi Indonesia untuk memperbaiki daya saing perekonomian nasional. Padahal begitu banyak yang perlu segera dilakukan untuk mengatasi berbagai ketertinggalan, khususnya dalam kecepatan doing business, peraturan dan perundangan, birokrasi, permodalan, infrastruktur, dan kualitas produk. Peningkatan daya saing adalah kebutuhan masa kini yang harus segera dipenuhi.
Pada 2013 ini ada beberapa tantangan yang dihadapi sektor usaha nasional dalam upaya peningkatan daya saing perekonomian nasional: tarik ulur kenaikan harga BBM bersubsidi, kenaikan tarif dasar listrik, dan kenaikan upah minimum. Belum lagi tarik ulur masalah ketenagakerjaan, tingkat korupsi yang masih tinggi, hingga masalah maraknya pungutan liar. Mau tidak mau, permasalahan tersebut harus segera diatasi. Apalagi pada 2013 ini Indonesia sudah memasuki tahun politik. Seluruh konsentrasi nasional akan terpusat pada proses suksesi nasional yang akan berlangsung pada 2014.

Namun, tanpa disadari masyarakat umum, seiring berakhirnya pemilu, ada tantangan yang lebih besar, yaitu AEC 2015. Kita berharap, adanya AEC 2015 akan memicu tumbuhnya pengusaha-pengusaha yang bukan hanya mampu bersaing di panggung nasional, tetapi juga mampu bersaing di tataran global. Peluang emas saat ini terpampang di depan mata. Sangat sayang jika peluang emas tersebut tidak bisa dimanfaatkan Indonesia. Saat ini perusahaan nasional sulit meningkatkan daya saing dikarenakan hambatan ekonomi biaya tinggi, iklim investasi yang belum kondusif, serta hambatan kapasitas institusional.
Padahal peluang emas tersebut seyogianya menjadi faktor pemercepat bagi terwujudnya “Asianisme” yang sudah diprediksi banyak pihak sebelumnya. Asianisme—menggantikan Westernisme—adalah fenomena atau tepatnya zaman di mana perekonomian dunia digerakkan oleh perekonomian di Asia, khususnya Asia Tenggara. Yang perlu dicatat, Asianisme tidak hanya terbatas pada pengertian Asia sebagai pasar, tapi juga Asia sebagai produsen barang dan jasa dengan kualitas dan harga yang sangat kompetitif bagi pasar-pasar negara Barat.
Sayangnya baru sedikit dari perusahaan Indonesia yang memiliki kemampuan untuk menembus pasar regional dan internasional. Justru yang terjadi sebaliknya. Di pasar dalam negeri sendiri pun produsen nasional kalah bersaing dengan barang dan jasa impor. Hal itu patut disayangkan karena sebelum merambah pasar regional, produsen nasional sebaiknya mendominasi pasar dalam negeri terlebih dahulu. Apalagi mengingat ukuran pasar Indonesia yang begitu besar, setiap produsen nasional memiliki kesempatan untuk mencapai skala ekonomis yang cukup besar sehingga menurunkan ongkos produksi secara signifikan.
Hal itulah yang dilakukan China secara agresif dalam dua dekade terakhir, khususnya setelah menjadi anggota World Trade Organization (WTO). Akibatnya, perusahaan nasional yang sudah membangun pangsa pasar selama bertahun-tahun justru khawatir pasarnya tergerus dalam sekejap oleh impor dari China yang jauh lebih murah dengan kualitas yang sering kali lebih baik. Oleh karena itu, dalam pandangan saya, dalam menghadapi AEC ada beberapa sektor yang harus dibenahi. Pertama, memberlakukan kebijakan yang tepat untuk meningkatkan daya saing sektor usaha nasional milik negara maupun swasta di seluruh sektor unggulan di seluruh Nusantara.

Hal ini dapat dilakukan dengan perbaikan indikator doing business dan kepastian hukum. Kedua, penyediaan infrastruktur yang akan memotong praktik ekonomi biaya tinggi. Ketiga, menjaga stabilitas nasional jelang Pemilu 2014 dan menjaga konsistensi kebijakan pasca-2014. Keempat, perumusan kebijakan yang berpihak pada pengusaha pemula dan pengusaha lokal. Kelima, mempermudah akses permodalan. Keenam, melakukan pencitraan Indonesia di berbagai forum internasional. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan keikutsertaan Indonesia di forumforum internasional.
LANGKAH STRATEGIS EKONOMI INDONESIA MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY
Association of South East Asian Nation (ASEAN) dengan mantap memastikan diri masuk dalam babak baru percaturan geoekonomi dan geopolitik global. Hal ini ditandai dengan ekonomi China, India sebagai mitra utama ASEAN melaju pesat. Posisi ASEAN sebagai kawasan strategis diintegrasi dengan beberapa langkah strategis yang diambil organisasi yang beranggotakan 10 negara di Asia Tenggara minus Timor Leste ini dalam mewujudkan ASEAN Community. Dalam mewujudkan ASEAN Community ini ada tiga pilar utama, yaitu pilar pertama politik-keamanan dengan menciptakan ASEAN Political Security Community (APSC), pilar kedua ekonomi dengan upaya menciptakan ASEAN Economic Community (AEC) dan pilar ketiga sosial-budaya dengan upaya mewujudkan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC).
Berdasar analisis dari Road Map HIPMI, setidaknya terdapat tiga indikator yang digunakan untuk meraba posisi Indonesia di ekonomi ASEAN. Pertama, pangsa ekspor Indonesia ke negara-negara ASEAN cukup besar. Nilai ekspor Indonesia ke Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand mencapai 13,9 persen dari total ekspor Indonesia pada 2005. Kedua, daya saing ekonomi Indonesia buruk dibandingkan negara ASEAN lainnya. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Forum Ekonomi Dunia dalam Global Competitiveness Index 2011-2012, peringkat Indonesia turun menjadi peringkat 46 dari peringkat 44 pada 2010. Ketiga, percepatan investasi di Indonesia tertinggal bila dibandingkan negara ASEAN lainnya. Selain akibat dari sisa krisis ekonomi, rendahnya investasi dipicu pula oleh buruknya infrastruktur ekonomi, kelambanan birokrasi, dan mahalnya izin usaha. Berkaitan dengan hal ini, Indonesia harus serius mempersiapkan diri.
Selanjutnya untuk mewujudkan kesiapan dibidang ekonomi Indonesia dalam menyongsong ASEAN Community 2015, kebijakan-kebijakan dan langkah strategis yang berkaitan dengan peningkatan daya saing produk Indonesia untuk pasar global dan penanganan strategis untuk poin ketiga dalam indikator posisi Indonesia di ekonomi ASEAN. Untuk menghadapi AEC 2015 tiga langkah strategis ini mungkin harus segera dipersiapkan: meningkatkan kesiapan sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi yang mengkoneksikan seluruh wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan dalam satu kesatuan, penerapan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mendukung pemajuan kualitas produksi pangan dan non pangan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan, dan mewujudkan Badan Publik (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif) yang transparan, akuntabel menuju good governance dan clean government(Tatakelola pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih) atau anti KKN. Dalam rangka meningkatkan kesiapan sarana dan prasarana, Kementerian PU, Perhubungan, Pemerintah daerah secara sinergi membangun infrastruktur transportasi di seluruh wilayah Indonesia khususnya sentra-sentra produksi pertanian, peternakan, perkebunan dan perikanan baik transportasi darat, laut dan udara dengan memperhatikan sistem yang berkelanjutan dan kelestarian alam dan lingkungan. Sebagai contoh adalah Kementerian Perhubungan, Kementerian PU dan Pemda membangun jaringan prasarana dan penyediaan sarana transportasi antar moda, antar pulau yang terintegrasi seperti membangun terminal bandara, terminal angkutan darat dan pelabuhan laut baik skala internasional, antar provinsi dan antar pulau kecil, terluar dan tertinggal. Selanjutnya untuk langkah strategis kedua, Kementerian Ristek dan BPPT bersama pemangku kepentingan lainnya sudah seharusnya dapat mengoptimalkan pelaksanaan Undang-undang Nomor 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam rangka meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global. Namun, kedua langkah strategis tersebut tidak akan dapat berjalan apabila langkah strategis ketiga ini tidak dapat dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Komisi Informasi Pusat bersama organisasi non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap perwujudan pemerintahan yang bersih secara sistemik harus mampu melaksanakan undang-undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan cara-cara sosialisasi, edukasi, pengawasan, pengecekan dan penyelesaian sengketa  informasi publik. Pada akhirnya dengan dapat memenuhi tiga langkah strategis di atas seluruh faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia, seperti SDA, SDM, teknologi, budaya, dan modal, dapat berkembang secara koheren bersiap menghadapi AEC 2015
BERDASARKAN NERACA
percepatan pelaksanaan AEC (ASEAN Economic Community) dari tahun 2020 menjadi 2015, dengan tujuan menjadikan kawasan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi regional, kawasan yang memiliki daya saing tinggi, kawasan pemerataan pengembangan ekonomi dan sebagai sarana menuju perekonomian global, diperlukan peta strategi yang jelas dan peran para pemangku kepentingan dari Pemerintah maupun pelaku usaha.
AEC 2015 secara umum dituntut adanya daya saing yang baik dari ASEAN maupun seluruh anggotanya untuk dapat mempeoleh semua hasil maksimal yang dapat diraih dari kerjasama ini. Tentunya untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan adanya persiapan yang baik dari seluruh anggota ASEAN termasuk Indonesia, yang pelaksanaannya sesuai dengan cetak biru AEC 2015 yang telah disepakati oleh seluruh anggota ASEAN.
Menurut Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, persiapan Indonesia menghadapi AEC 2015 sebesar 72%, dia mengaku masih ada keterbatasan dalam menyambut AEC yang tidak hanya berada di Indonesia tetapi juga sembilan negara ASEAN lain. “Tantangannya adalah bagaimana mengejar kemajuan industrialisasi sejumlah negara ASEAN lain dalam sisa waktu yang ada. Keterbatasan di Indonesia jelang AEC tidak ada, untuk infrastruktur pendukung memang tidak sempurna 100%, namun pembangunan menjurus ke sana," jelasnya kepada wartawan di Kementerian Perdagangan, Jum’at (31/8).



Pengenalan AEC
Selain itu, tantangan yang juga harus diselesaikan oleh sejumlah negara ASEAN adalah upaya pengenalan AEC kepada masyarakat. Ternyata masih banyak yang belum mengetahui mengenai AEC oleh berbagai kalangan di Indonesia, baik di kalangan pemerintah pusat, daerah, dan kalangan dunia usaha. Ini merupakan tantangan yang membutuhkan tanggapan yang tepat dan cepat, tetapi yang tentunya tidak mudah untuk bisa meyakinkan para pemangku kepentingan dan pengusaha yang selama ini tidak menjadikan ASEAN sebagai pasar atau sasaran investasi yang penting.
Secara umum AEC memiliki 12 sektor prioritas, yakni produk-produk  berbasis pertanian, otomotif, elektronik, perikanan, poduk berbasis karet, tekstil dan  pakaian, produk berbasis kayu, perjalanan udara,  e-ASEAN, kesehatan, pariwisata,  dan logistik. Sektor tersebut yang paling diminati anggota ASEAN, dan menjadi  ajang untuk bersaing satu sama lain. Gagasannya adalah jika sektor-sektor ini  diliberalisasikan secara penuh, maka akan mengembangkan keunggulan masing-masing sektor dengan menarik  investasi dan perdagangan, serta membantu mengembangkan produk-poduk buatan ASEAN.
Liberalisasi Tenaga Kerja
Namun, dari sisi ketenagakerjaaan dalam skema AEC 2015 hanya memberlakukan liberalisasi tenaga kerja profesional papan atas, seperti dokter, insinyur, akuntan dan sebagainya. Disayangkannya, tenaga kerja informal yang selama ini merupakan sumber devisa yang cukup potensional bagi Indonesia, cenderung dibatasi pergerakannya di AEC 2015 nanti. Maka, kualitas Smber Daya Manusia (SDM) harus ditingkatkan agar bisa digunakan baik dalam negeri maupun intra-ASEAN, selain itu untuk mencegah banjirnya tenaga kerja terampil dari luar negeri.
Ketua Komite Komite Tetap Sertifikasi Tenaga Kerja Kadin Indonesia Djimanto pernah mengingatkan perdagangan bebas bukan selalu tentang barang. Namun, jasa atau tenaga kerja termasuk yang diatur oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait perdagangan bebas. Apalagi saat memasuki AEC 2015, akan ada kelonggaran bagi keluar masuknya tenaga kerja antar negara Asia Tenggara. Maka tenaga kerja Indonesia perlu mempersiapkan diri.
Menurut dia, tenaga kerja nasional perlu meningkatkan daya saingnya. Kalau tidak, bisa kalah dengan tenaga kerja asing yang berasal dari negara-negara tetangga. “Jadi oleh karena itu perlu suatu pengukuran standar kompetensi,” terangnya. Dia menjelaskan, bahwa program pelatihan, sertifikasi, serta penempatan tenaga kerja (3P) juga menjadi keharusan dalam menyongsong AEC 2015. Tapi, tenaga kerja yang berkompetensi bagus pun belum tentu mampu melakukan pekerjaan dengan maksimal, sebab harus menjaga tingkat produktivitas dan daya saing industri tersebut.

























DAFTAR PUSTAKA

http://fmeindonesia.wordpress.com/2013/03/12/asean-economic-community-aec-2015-peluang-atau-tantangan.
SUMBER BANK INDONESIA,MENUJU ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
DEPARETEMEN PERDAGANGAN INDONESIA
www.google.com

Kelompok Kerja dan Komunikasi Dalam Organisasi

0   komentar

Kelompok Kerja dan Komunikasi Dalam Organisasi



Disusun Oleh
Agi Andrianto (11-311-029)


PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK
2012




KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb  Syukur alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala kehendak dan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini. Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu terutama Bapak Drs. Kasmiruddin, M.Si selaku dosen pengajar.
Kami menyadari, tugas ini jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan ilmu dan wawaasan yang di miliki oleh kami sebagai penulis. Oleh karena itu kritik dan saran yang besifat membangun, sangat kami harapkan demi kesempurnaan tugas ini.Kami mengharapkan semoga tugas ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan kita tentang Kelompok Kerja Dan Komunikasi dalam Organisasi.
semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.


















DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
BAB II PEMBAHASAN
















BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan-kemajuan di bidang teknologi dan sosial budaya mendorong perkembangan berbagai aspek kehidupan manusia diantaranya dalam berkumpul dan hidup berkelompok. Sebagai suatu bentuk kumpulan manusia dengan ikatan-ikatan tertentu atau syarat-syarat tertentu, maka organisasi telah pula berkembang dalam berbagai aspek termasuk ukuran dan kompleksitas.
Semakin besar ukuran suatu organisasi semakin cenderung menjadi kompleks keadaannya. Kompleksitas ini menyangkut berbagai hal seperti kompleksitas alur informasi, kompleksitas komunikasi, kompleksitas pembuat keputusan, kompleksitas pendelegasian wewenang dan sebagainya. Kompleksitas lain adalah sehubungan dengan sumber daya manusia. Seperti kita ketahui bahwa sehubungan dengan sumber daya manusia ini dapat diidentifikasi pula berbagai kompleksitas seperti kompleksitas jabatan, kompleksitas tugas, kompleksitas kedudukan dan status, kompleksitas hak dan wewenang dan lain-lain.
Kompleksitas ini dapat merupakan sumber potensial untuk timbulnya konflik dalam organisasi, terutama konflik yang berasal dari sumber daya manusia, dimana dengan berbagai latar belakang yang berbeda tentu mempunyai tujuan yang berbeda pula dalam tujuan dan motivasi mereka dalam bekerja.
Seorang pimpinan yang ingin memajukan organisasinya, harus memahami faktor-faktor apa saja yang menyebabkan timbulnya konflik, baik konflik di dalam individu maupun konflik antar perorangan dan konflik di dalam kelompok dan konflik antar kelompok. Pemahaman faktor-faktor tersebut akan lebih memudahkan tugasnya dalam hal menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi dan menyalurkannya ke arah perkembangan yang positif.



BAB II
PEMBAHASAN

Kelompok Kerja dan Komunikasi Dalam Organisasi
 Kelompok Kerja
Definisi Kelompok yang disusun oleh organisasi dengan tujuan untuk menjalankan berbagai pekerjaanyang terkait dengan pencapaian tujuan organisasi.
 Karakteristik : merupakan kumpulan yang beranggotakan orang-orang yang berbeda adanya interaksi di antara kumpulan orang tersebut adanya tujuan bersama yang ingin dicapai
1.Kelompok Kerja Formal Adalah kelompok kerja yang disebut atau disusun secara resmi oleh manajer di manakelompok kerja tersebut diberikan tugas dan pekerjaan yang terkait dengan pencapaian tujuanorganisasi. Macam-macam kelompok kerja formal :
a.Kelompok Kerja Langsung Merupakan kelompok kerja yang disusun oleh manajer dan beranggotakan beberapaorang bawahan yang berada di bagian di mana manajer tersebut ditugaskan.
 b.Kepanitiaan Adalah kelompok kerja yang disusun oleh manajer dan beranggotakan beberapa orang yang bias berasal dari bagian yang sama.
c.Kelompok Kerja Temporal / Khusus Adalah Kelompok kerja yang disusun untuk kepentingan-kepentingan khusus yang bersifat sementara.
2.Kelompok Kerja Informal Adalah kelompok kerja disusun atau tersusun dengan sendirinya ketika beberapa anggota dariorganisasi yang kegiatan biasanya tidak terkait langsung dengan rencana-rencana rutin dariorganisasi
 Tujuan Dibentuknya kelompok kerja informal.
 Untuk memelihara dan memperkuat perilaku positif dari para anggota
 Untuk menciptakan dan memelihara interaksi sesame anggota.
 Untuk membantu para anggota agar dapat saling berkomunikasi dan berinteraksi dalam bentuk informal dan fleksibel.
 Untuk membantu manajer dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang mungkin dalam kondisi formal tidak dapat diselesaikan
Tahapan Dalam Pembentukan dan Interaksi Tim Kerja
Menurut BW Tuckman yang dikutip dari Stoner, Freeman dan Gilbert :
1.Pembentukan ( forming )
2.Penguatan ( storming )
 3.Penyesuaian (norming )
 4.Perwujudan ( performing)
 5.Penilaian (adjourning)
  Solidaritas dan Integritas Dalam Kelompok Kerja (Cohesiveness)
 Solidaritas dan integirtas dalam kelompok kerja adalah tingkat kekompakan dan rasa memiliki,serta pandangan positif para anggota kelompok terhadap kelompok mereka sendiri. Solidaritas danintegritas dalam kelompok kerja akan menentukan sampai sejauh mana kelompok kerja dapatmenjalankan fungsinya dalam pencapaian tujuan. Tiga cara untuk mewujudkan tingkat solidaritas danintegritas yang tinggi :
1.Memperkenalkan kompetisi atau persaingan antarkelompok kerja dalam pengertian positif.
2.Meningkatkan tingkat interaksi antarnaggota dalam kelompok kerja.
3.Mengangkat isu bersama berupa tujuan atau target-target yang harus dicapai bersama.
Mewujudkan Kelompok Kerja Efektif Hal-hal yang harus diperhatikan agar kelompok kerja dapat berjalan secara lebih efektif adalahsebagai berikut :
 Tujuan dari pembentukan kelompok kerja hendaknya benar-benar jelas sehingga para anggotadapat mengenali secara jelas apa yang menjadi tujuan dari kelompok
. Peran serta pembagian kerja dari setiap anggota kelompok kerja perlu juga diperjelas. Artinya,struktur tugas atau pekerjaannya perlu disusun secara jelas.
 Jumlah anggota yang optimal dalam seuah kelompok kerja perlu ditentukan.
 Pemimpin dari kelompok kerja perlu juga ditentukan atas dasar kapabilitasnya di kelompok kerja tersebut.
 Seluruh sumber daya yang diperlukan hendaknya tersedia, terdistribusi secara merata sesuaidengan struktur tugas yang telah ditentukan.
 Norma-norma perlu disepakati sebelum pekerjaan dilakukan, yaitu sesaat setelah kelompok kerja baru terbentuk atau tersusun.
 Jadwal kerja perlu disusun secara spesifik dan disusun bersama seluruh anggota kelompok kerja agar rasa memiliki dan tanggung jawab dari seluruh anggota dapat diandalkan.
 Perlu diadakan momentum-momentum formal maupun informal untuk lebih memperkuatsolidaritas dan integritas sesame anggota.
 Fokuskan setiap kejadian pada kinerja kelompok kerja, bukan pada personality dari para anggota.
2.1 Pengertian
Robbins (1996) dalam “Organization Behavior” menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Sedang menurut Luthans (1981) konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentengan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan. Perbedaan pendapat tidak selalu berarti perbedaan keinginan. Oleh karena konflik bersumber pada keinginan, maka perbedaan pendapat tidak selalu berarti konflik. Persaingan sangat erat hubungannya denga konflik karena dalam persainganbeberapa pihak menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu yang mungkin mendapatkannya.
Persaingan tidak sama dengan konflik namun mudah menjurus ke aarah konflik, terutuma bila ada persaingan yang menggunakan cara-cara yang bertentengan dengan aturan yang disepakati. Permusuhan bukanlah konflik karena orang yang terlibat konflik bisa saja tidak memiliki rasa permusuhan. Sebaliknya orang yang saling bermusuhan bisa saja tidak berada dalam keadaan konflik. Konflik sendiri tidak selalu harus dihindari karena tidak selalu negatif akibatnya. Berbagai konflik yang ringan dan dapat dikendalikan (dikenal dan ditanggulangi) dapat berakibat positif bagi mereka yang terlibat maupun bagi organisasi.
2.2 Jenis-jenis Konflik
Menurut James A.F. Stoner dan Charles Wankel dikenal ada lima jenis konflik yaitu konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik antar individu dan kelompok, konflik antar kelompok dan konflik antar organisasi.Konflik Intrapersonal Konflik intrapersonal adalah konflikseseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus. Sebagaimana diketahui bahwa dalam diri seseorang itu biasanya terdapat hal-hal sebagai berikut:
1. Sejumlah kebutuhan-kebutuhan dan peranan-peranan yang bersaing
2. Beraneka macam cara yang berbeda yang mendorong peranan-peranan dan kebutuhan-kebutuhan itu terlahirkan.
 3. Banyaknya bentuk halangan-halangan yang bisa terjadi di antara dorongan dan tujuan. 4. Terdapatnya baik aspek yang positif maupun negatif yang menghalangi tujuan-tujuan yang diinginkan.
Hal-hal di atas dalam proses adaptasi seseorang terhadap lingkungannya acapkali menimbulkan konflik. Kalau konflik dibiarkan maka akan menimbulkan keadaan yang tidak menyenangkan. Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal yaitu :
 1. Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama menarik.
2. Konflik pendekatan – penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama menyulitkan.
3. Konflik penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada satu hal yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus. Konflik Interpersonal Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang lain karena pertentengan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain. Konflik interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat penting dalam perilaku organisasi. Karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan dari beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan mempngaruhi proses pencapaian tujuan organisasi tersebut. Konflik antar individu-individu dan kelompok-kelompok Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka.
Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa seseorang individu dapat dihukum oleh kelompok kerjanya karena ia tidak dapat mencapai norma-norma produktivitas kelompok dimana ia berada. Konflik antara kelompok dalam organisasi yang sama Konflik ini merupakan tipe konflik yang banyak terjadi di dalam organisasi-organisasi.
Konflik antar lini dan staf, pekerja dan pekerja – manajemen merupakan dua macam bidang konflik antar kelompok. Konflik antara organisasi Contoh seperti di bidang ekonomi dimana Amerika Serikat dan negara-negara lain dianggap sebagai bentuk konflik, dan konflik ini biasanya disebut dengan persaingan.Konflik ini berdasarkan pengalaman ternyata telah menyebabkan timbulnya pengembangan produk-produk baru, teknologi baru dan servis baru, harga lebih rendah dan pemanfaatan sumber daya secara lebih efisien. Konflik adalah proses yang dimulai ketika satu pihak menganggap pihak lain secara negatif mempengaruhi, atau akan secara negatif mempengaruhi, sesuatu yang menjadi keperdulian pihak pertama. 2.3 Transisi Dalam Pemikiran Konflik- Pandangan Tradisional
Pandangan bahwa semua konflik bersifat buruk tentu mengemukakan pendekatan sederhana dalam melihat perilaku orang yang menciptakan konflik. Karena semua konflik harus dihindari, kita hanya perlu mengarahkan perhatian pada penyebab konflik dan mengoreksi kesalahan fungsi untuk memperbaiki kinerja kelompok dan organisasi.- Pandangan Hubungan ManusiaPandangan hubungan manusia menyatakan bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar dalam semua kelompok dan organisasi.
 Karena konflik itu bersifat tidak terelakkan, aliran hubungan manusia menganjurkan penerimaan konflik. Konflik tak dapat disingkirkan, dan bahkan ada kalanya konflik bermanfaat bagi kinerja kelompok.- Pandangan InteraksionisPandangan Interaksionis tentang konflik menyakini bahwa konflik tidak hanya menjadi kekuatan positif dalam kelompok namun konflik juga sangat diperlukan agar kelompok berkinerja efektif.

Konflik Fungsional Lawan Disfungsional
1. Konflik Fungsional (Konstruktif) Adalah konflik yang mendukung sasaran kelompok dan memperbaiki kinerjanya.
2. Konflik Disfungsional (Destruktif) Adalah konflik yang menghambat kinerja kelompok.Terdapat
3 jenis konflik, yakni sebagai berikut : Konflik Tugas Adalah konflik atas isi dan sasaran pekerjaan.Konflik Hubungan Adalah konflik berdasarkan hubungan interpersonal.Konflik Proses Adalah konflik atas cara melakukan pekerjaan.

2.4 Proses Konflik
Terdapat 5 tahap, yakni sebagai berikut :
Tahap I : Potensi Oposisi atau KetidakcocokanLangkah pertama dalam proses konflik adalah adanya kondisi (syarat) yang menciptakan kesempatan untuk kemunculan konflik itu. Kondisi itu tidak selalu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu agar konflik itu muncul. Untuk menyederhanakan, kondisi ini (yang juga dapat dipandang sebagai penyebab atau sumber konflik) telah dipadatkan ke dalam tiga kategori umum, yakni :
a.KomunikasiKomunikasi dapat juga menjadi sumber konflik. Komunikasi menyatakan kekuatan-kekuatan berlawanan yang timbul dari dalam kesulitan semantik,
kesalahpahaman,dan ”kebisingan”dalam salurankomunikasi. Kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan kebisingan saluran komunikasi semuanya merupakan penghalang terhadap komunikasi dan kondisi anteseden yang potensial bagi konflik. Kesulitan semantik timbul sebagai akibat perbedaan pelatihan, persepsi selektif, dan informasi tidak memadai mengenai orang-orang lain. Potensi konflik meningkat bila terdapat terlalu sedikit atau terlalu banyak komunikasi atau informasi. Saluran yang dipilih untuk berkomunikasi dapat berpengaruh merangsang oposisi. Proses penyaringan yang terjadi ketika informasi disampaikan para anggota dan penyimpangan komunikasi dari saluran formal atau yang sudah ditetapkan sebelumnya, menawarkan potensi kesempatan bagi timbulnya konflik.
b.StrukturIstilah struktur mencakup variabel seperti ukuran, derajat spesialisasi dalam tugas yang diberikan ke anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi, kecocokan anggota / sasaran, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antar kelompok. Ukuran dan spesialisasi bertindak sebagai kekuatan untuk merangsang konflik. Semakin besar kelompok dan semakin terspesialisasi kegiatannya, semakin besar kemungkinan terjadinya konflik. Masa kerja dan konflik berbanding terbalik. Potensi konflik paling besar terjadi pada anggota kelompok yang lebih muda dan ketika tingkat pengunduran diri tinggi. Ambiguitas jurisdiksi meningkatkan perselisihan antar-kelompok untuk mendapatkan kendali atas sumber daya dan teritori. Partisipasi dan konflik sangat berkaitan karena partisipasi mendorong digalakkannya perbedaan. Sistem imbalan dapat menciptakan konflik apabila apa yang diterima satu anggota mengorbankan anggota yang lain.
c.Variabel Pribadi Kategori terakhir potensi sumber konflik adalah faktor-faktor pribadi. Faktor pribadi ini mencakup sistem nilai individu setiap orang dan karakteristik kepribadian yang menyebabkan idiosinkrasi dan perbedaan individu. Variabel yang paling terabaikan dalam penelitian konflik sosial adalah perbedaan sistem nilai dimana merupakan sumber yang paling penting yang dapat menciptakan potensi konflik.
Tahap II : Kognisi dan PersonalisasiKonflik yang Dipersepsikan merupakan kesadaran satu pihak atau lebih atas adanya kondisi yang menciptakan peluang terjadinya konflik. Konflik yang Dipersepsikan tidak berarti konflik itu dipersonalisasikan. Konflik yang Dirasakan, apabila individu-individu menjadi terlibat secara emosional dalam saat konflik, sehingga pihak-pihak mengalami kecemasan, ketegangan, frustasi, atau kekerasan. Tahap II ini penting karena persoalan konflik cenderung didefinisikan dan emosi memainkan peran utama dalam membentuk persepsi.
Tahap III : MaksudMaksud merupakan keputusan untuk bertindak dalam cara teretntu. Maksud Penanganan Konflik:Persaingan Merupakan keinginan memuaskan kepentingan seseorang, tidak memperdulikan dampak pada pihak lain dalam konflik tersebut. Kolaborasi Merupakan situasi yang di dalamnya pihak-pihak yang berkonflik sepenuhnya saling memuaskan kepentingan semua pihak. Penghindaran Merupakan keinginan menarik diri dari atau menekan konflik. Akomodasi Merupakan kesediaan satu pihak dalam konflik untuk memperlakukan kepentingan pesaing di atas kepentingannya sendiri. Kompromi Merupakan satu situasi yang di dalamnya masing-masing pihak yang berkonflik bersedia mengorbankan sesuatu.
Tahap IV : PerilakuTahap perilaku mencakup :Pernyataan. Tindakan. Reaksi yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkonflik.
 2.5 Manajemen Konflik
Yaitu Penggunaan teknik-teknik resolusi dan stimulasi untuk meraih level konflik yang diinginkan. Teknik Manajemen Konflik Teknik Pemecahan Konflik :
1. Pemecahan Masalah
2. Sasaran atasan
3. Perluasan sumberdaya
4. Penghindaran
5. Penghalusan
6. Kompromi
7. Komando otoritatif
8.Mengubah variabel manusia
9.Mengubah variabel struktur
Teknik Perangsangan Konflik :
1. Komunikasi
2.Memasukkan orang luar
3.Restrukturisasi organisasi
4.Mengangkat oposisi

Tahap V : Hasil
Hasil berupa jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik menghasilkan konsekuensi.
1. Hasil Fungsional
Konflik bersifat konstruktif apabila konflik itu memperbaiki kualitas keputusan, merangsang kreativitas dan inovasi, mendorong perhatian dan keingintahuan di kalangan anggota kelompok, menjadi saluran yang merupakan sarana penyampaian masalah dan peredaan ketegangan, dan memupuk lingkungan evaluasi diri serta perubahan.
2. Hasil Disfungsional
Konsekuensi destruktif konflik pada kinerja kelompok atau organisasi umumnya sangat dikenal. Oposisi yang tidak terkendali memunculkan ketidakpuasan, yang bertindak menghilangkan ikatan bersama, dan pada akhirnya mendoromg ke penghancuran kelompok itu. Konflik dari ragam disfungsional dapat mengurangi efektifitas kelompok.

2.6 Peranan Konflik
Ada berbagai pandangan mengenai konflik dalam organisasi. Pandangan tradisional mengatakan bahwa konflik hanyalah merupakan gejala abnormal yang mempunyai akibat-akibat negatif sehingga perlu dilenyapkan. Pendapat tradisional ini dapat diuraikan sebagai berikut : - Konflik hanya merugikan organisasi, karena itu harus dihindarkan dan ditiadakan. - Konflik ditimbul karena perbedaan kepribadian dan karena kegagalan dalam kepemimpinan. - Konflik diselesaikan melalui pemisahan fisik atau dengan intervensi manajemen tingkat yang lebih tinggi. Sedangkan pandangan yang lebih maju menganggap bahwa konflik dapat berakibat baik maupun buruk.Usaha penanganannya harus berupaya untuk menarik hal-hal yang baik dan mengurangi hal-halyang buruk. Pandangan ini dapat diuraikan sebagai berikut : - Konflik adalah suatu akibat yang tidak dapat dihindarkan dari interaksi organisasional dan dapat diatasi dengan mengenali sumber-sumber konflik. - Konflik pada umumnya adalah hasil dari kemajemukan sistem organisasi - Konflik diselesaikan dengan cara pengenalan sebab dan pemecahan masalah. Konflik dapat merupakan kekuatan untuk pengubahan positif di dalam suatu organisasi. Dalam padangan modern ini konflik sebenarnya dapat memberikan manfaat yang banyak bagi organisasi. Sebagai contoh pengembangan konflik yang positif dapat digunakan sebagai ajang adu pendapat, sehingga organisasi bisa memperoleh pendapat-pendapat yang sudah tersaring. Seorang pimpinan suatu organisasi pernah menerapkan apa yang disebutnya dengan “mitra tinju” Pada saat ada suatu kebijakan yang hendak diterapkannya di organisasi yang dipimpinnya ia mencoba untuk mencari “mitra yang beroposisi dengannya”. Kadang konflik pun terjadi. Apakah itu menjadi persoalan bagi dirinya ? “Bagi saya hal itu menjadi hal yang positif, karena saya dapat melihat kebijakan yang dibuat tersebut dari sisi lain. Saya dapat mengidentifikasi kemungkinan kelemahan yang ada dari situ. Selama kita masih bisa mentolerir dan dapat mengendalikan konflik tersebut ke arah yang baik, hal itu tidak menjadi masalah”, ujarnya. Hal ini sejalan dengan pendapat yang ditulis oleh Robbins (1996) yang membahas konflik dari segi human relations and interactionist perspective. Dijelaskan bahwa konflik itu adalah hal yang alamiah dan selalu akan terjadi. Konflik merupakan bagian dari pengalaman hubungan antar pribadi (interpersonal experience) Karena itu bisa dihindari maka sebaiknya konflik dikelola dengan efektif, sehingga dapat bermanfaat dan dapat menciptakan perbedaan serta pembaharuan ke arah yang lebih baik dalam organisasi. Kesimpulannya konflik tidak selalu merugikan organisasi selama bisa ditangani dengan baik sehingga dapat : - mengarah ke inovasi dan perubahan - memberi tenaga kepada orang bertindak - menyumbangkan perlindungan untuk hal-hal dalam organisasi - merupakan unsur penting dalam analisis sistem organisasi
 2.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi Konflik
 Dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Dalam faktor intern dapat disebutkan beberapa hal :
1. Kemantapan organisasi Organisasi yang telah mantap lebih mampu menyesuaikan diri sehingga tidak mudah terlibat konflik dan mampu menyelesaikannya. Analoginya dalah seseorang yang matang mempunyai pandangan hidup luas, mengenal dan menghargai perbedaannilai dan lain-lain.
 2. Sistem nilai Sistem nilai suatu organisasi ialah sekumpulan batasan yang meliputi landasan maksud dan cara berinteraksi suatu organisasi, apakah sesuatu itu baik, buruk, salah atau benar.
3. Tujuan Tujuan suatu organisasi dapat menjadi dasar tingkah laku organisasi itu serta para anggotanya.
4. Sistem lain dalam organisasi Seperti sistem komunikasi, sistem kepemimpinan, sistem pengambilan keputusan, sisitem imbalan dan lain-lain. Dlam hal sistem komunikasi misalnya ternyata persepsi dan penyampaian pesan bukanlah soal yang mudah.
 Sedangkan faktor ekstern meliputi :
1. Keterbatasan sumber daya Kelangkaan suatu hal yang dapat menumbuhkan persaingan dan seterusnya dapat berakhir menjadi konflik.
2. Kekaburan aturan/norma di masyarakat Hal ini memperbesar peluang perbedaan persepsi dan pola bertindak.
3. Derajat ketergantungan dengan pihak lain Semakin tergantung satu pihak dengan pihak lain semakin mudah konflik terjadi.
4. Pola interaksi dengan pihak lain Pola yang bebas memudahkan pemamparan dengan nilai-nilai ain sedangkan pola tertutup menimbulkan sikap kabur dan kesulitan penyesuaian diri.
2.8 Penanganan Konflik
 Untuk menangani konflik dengan efektif, kita harus mengetahui kemampuan diri sendiri dan juga pihak-pihak yang mempunyai konflik. Ada beberapa cara untuk menangani konflik antara lain :
 1. Introspeksi diri Bagaiman kita biasanya menghadapi konflik ? Gaya apa yang biasanya digunakan? Apa saja yang menjadi dasar dan persepsi kita. Hal ini penting untuk dilakukan sehingga kita dapat mengukur kekuatan kita.
2. Mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat. Sangat penting bagi kita untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat. Kita dapat mengidentifikasi kepentingan apa saja yang mereka miliki, bagaimana nilai dan sikap mereka atas konflik tersebut dan apa perasaan mereka atas terjadinya konflik. Kesempatan kita untuk sukses dalam menangani konflik semakin besar jika kita meliha konflik yang terjadi dari semua sudut pandang.
 3. Identifikasi sumber konflik Seperti dituliskan di atas, konflik tidak muncul begitu saja. Sumber konflik sebaiknya dapat teridentifikasi sehingga sasaran penanganannya lebih terarah kepada sebab konflik.
4. Mengetahui pilihan penyelesaian atau penanganan konflik yang ada dan memilih yang tepat. Spiegel (1994) menjelaskan ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam penanganan konflik :
 a. Berkompetisi Tindakan ini dilakukan jika kita mencoba memaksakan kepentingan sendiri di atas kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan ini bisa sukses dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat, kepentingan salah satu pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital. Hanya perlu diperhatikan situasi menang – kalah (win-win solution) akan terjadi disini. Pihak yang kalah akan merasa dirugikan dan dapat menjadi konflik yang berkepanjangan. Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan atasan – bawahan, dimana atasan menempatkan kepentingannya (kepentingan organisasi) di atas kepentingan bawahan.
b. Menghindari konflik Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindari dari situsasi tersebut secara fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah menunda konflik yang terjadi. Situasi menag kalah terjadi lagi disini. Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mencoba untuk mendinginkan suasana, mebekukan konflik untuk sementara. Dampak kurang baik bisa terjadi jika pada saat yang kurang tepat konflik meletus kembali, ditambah lagi jika salah satu pihak menjadi stres karena merasa masih memiliki hutang menyelesaikan persoalan tersebut.
 c. Akomodasi Yaitu jika kita mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Disebut juga sebagai self sacrifying behaviour. Hal ini dilakukan jika kita merasa bahwa kepentingan pihak lain lebih utama atau kita ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut. Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan hubungan baik menjadi hal yang utama di sini.

d. Kompromi Tindakan ini dapat dilakukan jika ke dua belah pihak merasa bahwa kedua hal tersebut sama –sama penting dan hubungan baik menjadi yang uatama. Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya untuk mendapatkan situasi menang-menang (win-win solution) e. Berkolaborasi Menciptakan situasi menang-menag dengan saling bekerja sama. Pilihan tindakan ada pada diri kita sendiri dengan konsekuensi dari masing-masing tindakan. Jika terjadi konflik pada lingkungan kerja, kepentingan dan hubungan antar pribadi menjadai hal yang harus kita pertimbangkan.






BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kemampuan menangani konflik tentang terutama yang menduduki jabatan pimpinan. Yang terpenting adalah mengembangkan pengetahuan yang cukup dan sikap yang positif terhadap konflik, karena peran konflik yang tidak selalu negatif terhadap organisasi. Dengan pengembalian yang cukup senang, pimpinan dapat cepat mengenal, mengidentifikasi dan mengukur besarnya konflik serta akibatnya dengan sikap positif dan kemampuan kepemimpianannya, seorang pimpinan akan dapat mengendalikan konflik yang akan selalu ada, dan bila mungkin menggunakannya untuk keterbukaan organisasi dan anggota organisasi yang dipimpinnya. Tentu manfaatnya pun dapat dirasakan oleh dirinya sendiri.

PENGARUH KUALITAS KEHIDUPAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DENGAN KOMITMEN DAN KEPUASAN KERJA

0   komentar

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kualitas kehidupan kerja merupakan suatu konsep atau filsafat manajemen dalam rangka perbaikan kualitas sumber daya manusia yang telah dikenal sejak dekade tujuh puluhan. Pada saat itu kualitas kehidupan kerja diartikan secara sempit yaitu sebagai teknik manajemen yang mencakup gugus kendali mutu, perkayaan pekerjaaan, suatu pendekatan untuk bernegosiasi dengan serikat pekerja, upaya manajemen untuk memelihara kebugaran mental para karyawan, hubungan industrial yang serasi, manajemen yang partisipatif dan salah satu bentuk intervensi dalam pengembangan organisasional (French et al, 1990 dalam Noor Arifin, 1999).
Dalam perkembangan selanjutnya kualitas kehidupan kerja merupakan salah satu bentuk filsafat yang diterapkan oleh manajemen dalam mengelola organisasi pada khususnya dan sumber daya manusia khususnya. Ada empat dimensi di dalam kualitas kehidupan kerja yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia yaitu partisipasi dalam pemecahan masalah, sistem imbalan yang inovatif, perbaikan lingkungan kerja dan restrukturisasi kerja.
Kualitas kehidupan kerja merupakan masalah utama yang patut mendapat perhatian organisasi ( Lewis dkk, 2001 ) Hal ini merujuk pada pemikiran bahwa kualitas kehidupan kerja dipandang mampu untuk meningkatkan peran serta dan sumbangan para anggota atau karyawan terhadap organisasi. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kualitas kehidupan kerja mempunyai dampak positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan ( May dan Lau, 1999 ) Adanya kualitas kehidupan kerja juga menumbuhkan keinginan para karyawan untuk tetap tinggal dalam organisasi.
I.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh kualitas kehidupan kerja terhadap kinerja karyawan?
2. Bagaimana pengaruh kualitas kehidupan kerja terhadap kepuasan kerja dan komitmen karyawan ?



BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Kualitas Kehidupan Kerja 
Kualitas kehidupan kerja atau Quality of Work Life (QWL) merupakan salah satu bentuk fisafat yang diterapkan manajemen dalam mengelola organisasi pada umumnya dan sumberdaya manusia pada khususnya. Sebagai filsafat, kualitas kehidupan kerja merupakan cara pandang manajemen tentang manusia, pekerja dan organisasi. Unsur - unsur pokok dalam filsafat tersebut ialah: kepedulian manajemen tentang dampak pekerjaan pada manusia, efektifitas organisasi serta pentingnya para karyawan dalam pemecahan keputusan teutama yang menyangkut pekerjaan, karier, penghasilan dan nasib mereka dalam pekerjaan.
Ada dua pandangan mengenai maksud dari kualitas kehidupan kerja. Pandangan pertama mengatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah sejumlah keadaan dan praktek dari tujuan organisasi. Contohnya: perkayaan kerja, penyeliaan yang demokratis,keterlibatan pekerja dan kondisi kerja yang aman. Sementara yang lainnya menyatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah persepsi-persepsi karyawan bahwa mereka ingin merasa aman, secara relatif merasa puas dan mendapat kesempatan mampu tumbuh dan berkembang selayaknya manusia (Wayne, 1992 dalam Noor Arifin, 1999). 
Konsep kualitas kehidupan kerja mengungkapkan pentingnya penghargaan terhadap manusia dalam lingkungan kerjanya. Dengan demikian peran penting dari kualitas kerja adalah mengubah iklim kerja agar organisasi secara teknis dan manusiawi membawa kepada kualitas kehidupan kerja yang lebih baik (Luthansm, 1995 dalam Noor Arifin, 1999).
Sedangkan Prof. Siagian (dalam Noor Arifin, 1999) menyatakan bahwa QWL sebagai filsafat manajemen menekankan:
1. QWL merupakan program yang kompetitif dan mempertimbangkan berbagai kebutuhan dan tuntutan karyawan.
2. QWL memperhitungkan tuntutan peraturan perundang-undangan seperti ketentuan yang mengatur tindakan yang diskriminan, perlakuan pekerjaan dengan cara-cara yang manusiawi, dan ketentuan tentang system imbalan upah minimum.
3. QWL mengakui keberadaan serikat pekerja dalam organisasi dan berbagai perannya memperjuangkan kepentingan para pekerja termasuk dalam hal upah dan gaji, keselamatan kerja dan penyelesaian pertikaian perburuhan berdasarkan berbagai ketentuan normative dan berlaku di suatu wilayah negara tertentu.
4. QWL menekankan pentingnya manajemen yang manusiawi, yang pada hakekatnya berarti penampilan gaya manajemen yang demokratik termasuk penyeliaan yang simpatik
5. Dalam peningkatan QWL, perkayaan pekerjaan merupakan bagian integral yang penting.
6. QWL mencakup pengertian tentang pentingnya tanggung jawab social dari pihak manajemen dan perlakuan manajemen terhadap para karyawan yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis.
Istilah kualitas kehidupan kerja pertama kali diperkenalkan pada Konferensi  Buruh Internasional pada tahun 1972, tetapi baru mendapat perhatian setelah United Auto Workers dan General Motor berinisiatif mengadopsi praktek kualitas kehidupan kerja untuk mengubah sistem kerja.
Ada dua pandangan mengenai maksud dari kualitas kehidupan kerja. Di satu sisi dikatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah sejumlah keadaan dan praktek dari tujuan organisasi ( contohnya : perkayaan kerja, penyeliaan yang demokratis, keterlibatan pekerja dan kondisi kerja yang nyaman ). Sementara pandangan yang lain menyatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah persepsi-persepsi karyawan bahwa mereka ingin merasa aman, secara relatif merasa puas dan mendapat kesempatan mampu untuk tumbuh dan berkembang sebagai layaknya manusia ( Cascio, 1991 )
Konsep kualitas kehidupan kerja mengungkapkan pentingnya penghargaan terhadap manusia dalam lingkungan kerjanya. Dengan demikian peran penting dari kualitas kehidupan kerja adalah mengubah iklim organisasi agar secara tehnis dan manusiawi membawa kepada kualitas kehidupan kerja yang lebih baik ( Luthans, 1995 ).
Kualitas kehidupan kerja merumuskan bahwa setiap proses kebijakan yang diputuskan oleh perusahaan merupakan sebuah respon atas apa yang menjadi keinginan dan harapan karyawan mereka, hal itu diwujudkan dengan berbagi persoalan dan menyatukan pandangan mereka ( perusahaan dan karyawan ) ke dalam tujuan yang sama yaitu peningkatan kinerja karyawan dan perusahaan.Secara umum terdapat sembilan aspek pada SDM di lingkungan perusahaan yang perlu diciptakan, dibina dan dikembangkan ( Nawawi, 2001 ) Kesembilan aspek tersebut adalah :
a. Di lingkungan setiap dan semua perusahaan, pekerja sebagai SDM memerlukan komunikasi yang terbuka dalam batas-batas wewenang dan tanggungjawab masing- masing. Komunikasi yang lancar untuk memperoleh informasi-informasi yang dipandang penting oleh pekerja dan disampaikan tepat pada waktunya dapat menimbulkan rasa puas dan merupakan motivasi kerja yang positif. Untuk itu perusahaan dalam menyampaikan informasi dapat dilakukan dalam bentuk pertemuan atau secara langsung pada setiap pekerja, atau melalui pertemuan kelompok, dan dapat pula melalui sarana publikasi perusahaan seperti papan buletin, majalah perusahaan dan lain-lain. 
b. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua pekerja memerlukan pemberian kesempatan pemecahan konflik dengan perusahaan atau sesama karyawan secara terbuka, jujur dan adil. Kondisi itu sangat berpengaruh pada loyalitas, dedikasi serta motivasi kerja karyawan. Untuk itu perusahaan perlu mengatur cara penyampaian keluhan keberatan secara terbuka atau melalui proses pengisian fomulir khusus untuk keperluan tersebut. Disamping itu dapat ditempuh pula dengan kesediaan untuk mendengarkan review antar karyawan yang mengalami konflik, atau melalui proses banding ( appeal ) pada pimpinan yang lebih tinggi dalam konflik dengan manajer atasannya. 
c. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua karyawan memerlukan kejelasan pengembangan karir masing-masing dalam menghadapi masa depannya. Untuk itu dapat ditempuh melalui penawaran untuk memangku suatu jabatan, memberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan atau pendidikan di luar perusahaan atau pada lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Di samping itu dapat juga ditempuh melalui penilaian kerja untuk mengatur kelebihan dan kekurangannya dalam bekerja yang dilakukan secara obyektif. Pada gilirannya berikut dapat ditempuh dengan mempromosikannya untuk memangku jabatan yang lebih tinggi di dalam perusahaan tempatnya bekerja.
d. Di lingkungan perusahaan, karyawan perlu diikutsertakan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan pekerjaan, sesuai dengan posisi, kewenangan dan ajabatan masing-masing. Untuk itu perusahaan dapat melakukannya dengan membentuk tim inti dengan mengikutsertakan karyawan, dalam rangka memikirkan langkah-langkah bisnis yang akan ditempuh. Di samping itu dapat pula dilakukan dengan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan yang tidak sekedar dipergunakan untuk menyampaikan perintah-perintah dan informasi-informasi tetapi juga memperoleh masukan, mendengarkan saran dan pendapat karyawan 
e. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap karyawan perlu dibina dan dikembangkan perasaan bangganya pada tempat kerja, temasuk juga pada pekerjaan atau jabatannya. Untuk keperluan itu, perusahaan berkepentingan menciptakan dan mengembangkan identitas yang dapat menimbulkan rasa bangga karyawan terhadap perusahaan. Dalam bentuk yang sederhana dapat dilakukan melalui logo, lambang, jaket perusahaan dan lainnya. Di samping itu rasa bangga juga dapat dikembangkan melalui partisipasi perusahaan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengikutsertakan karyawan, kepedulian terhadap masalah lingkungan sekitar dan mempekerjakan karyawan dengan kewarganegaraan dari bangsa tempat perusahaan melakukan operasional bisnis. 
f. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua karyawan harus memperoleh kompensasi yang adil/wajar dan mencukupi. Untuk itu diperlukan kemampuan menyusun dan menyelenggarakan sistem dan struktur pemberian kompensasi langsung dan tidak langsung (pemberian upah dasar dan berbagai keuntungan/manfaat ) yang kompetitif dan dapat mensejahterakan karyawan sesuai dengan posisi/jabatannya di perusahaan dan status sosial ekonominya di masyarakat. 
g. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua karyawan memerlukan keamanan lingkungan kerja.Untuk itu perusahaan berkewajiban menciptakan dan mengembangkan serta memberikan jaminan lingkungan kerja yang aman. Beberapa usaha yang dapat dilakukan antara lain dengan membentuk komite keamanan lingkungan kerja yang secara terus menerus melakukan pengamatan dan pemantauan  kondisi tempat dan peralatan kerja guna menghindari segala sesuatu yang membahayakan para pekerja, terutama dari segi fisik. Kegiatan lain dapat dilakukan dengan membentuk tim yang dapat memberikan respon cepat terhadap kasus gawat darurat bagi karyawan yang mengalami kecelakaan. Dengan kata lain perusahaan perlu memiliki program keamanan kerja yang dapat dilaksanakan bagi semua  karyawannya.
h. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua karyawan memerlukan rasa aman atau jaminan kelangsungan pekerjaannya. Untuk itu perusahaan perlu berusaha menghindari pemberhentian sementara para karyawan, menjadikannya pegawai tetap dengan memiliki tugas-tugas reguler dan memiliki program yang teratur dalam memberikan kesempatan karyawan mengundurkan diri, terutama melalui pengaturan pensiun. 
i. Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua karyawan memerlukan perhatian terhadap pemeliharaan kesehatannya, agar dapat bekerja secara efektif, efisien dan produktif. Untuk itu perusahaan dapat mendirikan dan menyelenggarakan pusat kesehatan, pusat perawatan gigi, menyelenggarakan program pemeliharaan kesehatan, program rekreasi dan program konseling/penyuluhan bagi para pekerja/karyawan. 
Kesembilan aspek tersebut sangat penting artinya dalam pelaksanaan manajemen yang diintegrasikan dengan SDM agar perusahaan mampu mempertahankan dan meningkatkan eksistensinya secara kompetitif. Kualitas kehidupan kerja merupakan suatu bentuk filsafat yang diterapkan oleh manajemen dalam mengelola organisasi pada umumnya dan sumberdaya manusia pada khususnya.
Sebagai filsafat, kualitas kehidupan kerja merupakan cara pandang manajemen tentang manusia, pekerja dan organisasi. Unsur-unsur pokok dalam filsafat tersebut adalah : kepedulian manajemen tentang dampak pekerjaan pada manusia, efektifitas organisasi serta pentingnya para karyawan dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan terutama yang menyangkut pekerjaan, karir, penghasilan dan nasib mereka dalam pekerjaan. (Arifin, 1999 ) Penelitian oleh Elmuti (1997) menunjukkan bahwa implementasi aided self-manajemen team ( bentuk lain dari kualitas kehidupan kerja ) menunjukkan dampak positif pada kinerja karyawan Ada delapan indikator dalam pengukuran  kualitas kehidupan kerja yang dikembangkan oleh Walton ( dalam Zin 2004 ) tetapi dalam penelitian ini hanya akan digunakan empat indikator saja, yaitu : 
1. Pertumbuhan dan pengembangan,yaitu terdapatnya kemungkinan untuk mengembangkan kemampuan dan tersedianya kesempatan untuk menggunakan ketrampilan atau pengetahuan yang dimiliki karyawan
2. Partisipasi, yaitu adanya kesempatan untuk berpartisipasi atau terlibat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi langsung maupun tidak langsung terhadap pekerjaan
3. Sistem imbalan yang inovatif, yaitu bahwa imbalan yang diberikan kepada karyawan memungkinkan mereka untuk memuaskan berbagai kebutuhannya sesuai dengan standard hidup karyawan yang bersangkutan dan sesuai dengan standard pengupahan dan penggajian yang berlaku di pasaran kerja 
4. Lingkungan kerja, yaitu tersedianya lingkungan kerja yang kondusif, termasuk di dalamnya penetapan jam kerja, peraturan yang berlaku kepemimpinan serta lingkungan fisik 
II.2 Kinerja Karyawan 
Kinerja karyawan merupakan suatu hasil yang dicapai oleh pekerja dalam pekerjaannya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan tertentu Robbins ( 1996 ) menyatakan bahwa kinerja karyawan adalah fungsi dari interaksi antara kemampuan dan motivasi. Simamora ( 1997 ) menyatakan bahwa maksud penetapan tujuan kinerja adalah menyusun sasaran yang berguna tidak hanya bagi evaluasi kinerja pada akhir periode tapi juga untuk mengelola proses kerja selama periode tersebut. As’ad ( 1995 ) menyatakan bahwa kinerja karyawan merupakan kesukesan seseorang di dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Kinerja pada dasarnya merupakan hasil kerja seorang karyawan selama periode tertentu. Berhasil tidaknya kinerja karyawan dipengaruhi oleh tingkat kinerja dari karyawan secara individu maupun kelompok. 
Menurut Bernardin dan Russel ( 1993 ) ada 6 kriteria yang digunakan untuk mengukur sejauh mana kinerja karyawan secara individu, yaitu kualitas, kuantitas, ketepatan waktu, efektivitas, kemandirian, dan komitmen kerja. Kinerja pada umumnya dikatakan sebagai ukuran bagi seseorang dalam pekerjaannya. Kinerja merupakan landasan bagi produktivitas dan mempunyai kontribusi bagi pencapaian tujuan organisasi. Tentu saja kriteria adanya nilai tambah digunakan di banyak perusahaan untuk mengevaluasi manfaat dari suatu pekerjaan dan/atau pemegang jabatan. Kinerja dari setiap pekerja harus mempunyai nilai tambah bagi suatu organisasi atas penggunaan sumber daya yang telah dikeluarkan. Untuk mencapai kinerja yang tinggi, setiap individu dalam perusahaan harus mempunyai kemampuan yang tepat ( reating capacity to perform ), bekerja keras dalam pekerjaannya ( showing the willingness to perform ) dan mempunyai kebutuhan pendukung ( creating the opportunity to perform ). Ketiga faktor tersebut penting, kegagalan dalam salah satu faktor tersebut dapat menyebabkan berkurangnya kinerja, dan pembentukan terbatasnya standard kinerja.
Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan. Kinerja individu ini akan tercapai jika didukung oleh atribut individu, upaya kerja (work effort) dan dukungan organisasi. Dengan kata lain kerja individu adalah hasil : 
a. Atribut individu yang menentukan kapasitas untuk mengerjakan sesuatu. Atribut individu ini meliputi faktor individu ( kemampuan dan keahlian, latar belakang serta demografi ) dan faktor psikologis meliputi persepsi, attitude, personality, pembelajaran dan motivasi.
b. Upaya kerja ( work effort ) yang membentuk keinginan untuk mencapai sesuatu
c. Dukungan organisasi, yang memberikan kesempatan untuk berbuat sesuatu. Dukungan organisasi meliputi sumber daya, kepemimpinan, lingkungan kerja, struktur organisasi dan job design.
Menurut A. Dale Timple ( dalam Anwar Prabumangkunegara, 2006) faktor kinerja terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal ( disposisional ) yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang. Fakor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan seperti perilaku, sikap dan tindakan bawahan ataupun rekan kerja, fasilitas kerja dan iklim organisasi. Kinerja yang baik tentu saja merupakan harapan bagi semua perusahaan dan institusi yang mempekerjakan karyawan, sebab kinerja karyawan ini pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan.
Kualitas kehidupan kerja merupakan masalah utama yang patut mendapat perhatian organisasi ( Lewis dkk, 2001 ) Hal ini merujuk pada pemikiran bahwa kualitas kehidupan kerja dipandang mampu untuk meningkatkan peran serta dan sumbangan para anggota atau karyawan terhadap organisasi. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kualitas kehidupan kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan ( May dan Lau, 1999 ) Adanya kualitas kehidupan kerja juga menumbuhkan keinginan para karyawan untuk tetap tinggal dalam organisasi. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan positif antara praktek kualitas kehidupan kerja dengan kinerja karyawan ( Elmuti dan Kathawala, 1997 ) Kinerja dapat diukur melalui lima indikator :
a. Kualitas, yaitu hasil kegiatan yang dilakukan mendekati sempurna, dalam arti menyesuaikan beberapa cara ideal dari penampilan kegiatan dalam memenuhi tujuan yang diharapkan dari suatu kegiatan
b. Kuantitas, yaitu jumlah atau target yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah unit jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan
c. Pengetahuan dan ketrampilan, yaitu pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh pegawai dari suatu organisasi 
d. Ketepatan waktu, yaitu aktivitas yang diselesaikan pada waktu awal yang diinginkan dilihat dari sudut koordinasi dari hasil output serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain.
e. Komunikasi, yaitu hubungan atau interaksi dengan sesama rekan kerja dalam organisasi.
II.3 Komitmen Organisasional 
Komitmen organisasi adalah suatu nilai personal, dimana seringkali mengacu pada loyalitas terhadap perusahaan atau komitmen terhadap perusahaan ( Cherrington, 1994 ). Konsep komitmen muncul dari studi yang mengeksplorasi kaitan/hubungan antara karyawan dan orang. Motivasi untuk melakukan studi terhadap komitmen didasari pada suatu keyakinan bahwa karyawan yang berkomitmen akan mneguntungkan bagi perusahaan karena kemampuan potensialnya dan mengurangi turn over dan meningkatkan kinerja ( Mowday, 1998 ) Porter dkk ( dalam Meyer, 1989 ) mendefinisikan komitmen sebagai suatu kekuatan dari pengidentifikasian dan keterlibatan seorang individu dalam suatu organisasi tertentu, sedangkan Becker ( dalam Meyer, 1989 ) mendeskripsikan komitmen sebagai suatu tendensi atau kecenderungan untuk mengikatkan diri dalam garis dan aktivitas yang konsisten. Robbin ( 1998 ) mendefinsikan komitmen sebagai suatu keadaaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu perusahaan atau organisasi tertentu dan pada tujuan organisasi tersebut serta berniat untuk memelihara keanggotannya dalam organisasi. 
Menurut Mowday, Porter dan Steers ( dalam Luthans, 1995 ) dikatakan bahwa komitmen organisasi terdiri dari tiga faktor, yaitu :
1. Keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi 
2. Kemauan yang besar untuk berusaha bagi organisasi 
3. Kepercayaan yang kuat dan penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi. 
Ketiga karakteristik ini menyatakan bahwa komitmen organisasi melibatkan lebih dari sekedar loyalitas yang pasif terhadap organisasi. Hal ini melibatkan suatu hubungan yang aktif dengan organisasi, dimana para karyawan mempunyai kemampuan untuk memberikan diri mereka dan membuat suatu kontribusi personal untuk membantu organisasi mencapai kesukesan. ( Herrington, 1994 ) Dalam review mereka tentang literatur –literatur mengenai komitmen organisasi, Allen dan Meyer ( 1991)mengidentifikasikan tiga tema yang berbeda dalam pendefinisian komitmen, yaitu affective commitment atau komitmen afektif adalah komitmen sebagai suatu ikatan atau keterlibatan emosi dalam mengidentifikasi dan terlibat dalam organisasi, continuance commitment menunjukkan keputusan tetap mempertahankan keanggotaan dalam organisasi berdasarkan kalkulasi biaya yang harus ditanggung ( perceived cost ) jika memutuskan keluar dari organisasi, normative commitment adalah perasaan karyawan untuk berkewajiban tetap bergabung dengan organisasi. Oleh Allen dan Meyer, ketiga bentuk komitmen ini disebut sebagai : 
a. Affective commitment, didefinisikan sebagai sampai derajad manakah seorang individu terikat secara psikologis pada organisasi yang mempekerjakan melalui perasaan seperti loyalitas, terikat dan sepakat dengan tujuan organisasi. Dengan demikian, komitmen afektif seorang individu berhubungan dengan ikatan emosional atau identifikasi individu tersebut dengan organisasi.
b. Continuance commitment , mengacu pada suatu kesadaran tentang biaya yang diasosiasikan dengan meninggalkan organisasi. Kontinuen komitmen adalah suatu keadaan dimana karyawan merasa membutuhkan untuk tetap tinggal, dimana mereka berfikir bahwa meninggalkan perusahaan akan sangat merugikan  bagi mereka. Dengan kata lain individu dengan komitmen yang tinggi akan bertahan dalam organisasi karena mereka perlu akan hal itu.
c. Normative commitment , adalah suatu perasaan dari karyawan tetang kewajiban untuk bertahan dalam organisasi. Dalam hal ini menurut Brown dan Gaylor ( 2002 ) komitmen normatif dikarakterisasikan dengan keyakinan dari karyawan bahwa dia berkewajiban untuk tinggal / bertahan dalam suatu organisasi tertentu karena suatu loyalitas personal. Dengan kata lain karyawan dengan komitmen normatif yang tinggi akan bertahan dalam organisasi karena mereka merasa harus melakukan hal tersebut. 
Komitmen organisasi menurut Meyer dkk ( 1989) adalah suatu kualitas yang diinginkan yang harus dipelihara di kalangan karyawan. Dalam hal ini harus dilihat hal-hal yang dapat mempengaruhi komitmen seseorang. Cherrington ( 1994 ) mengidentifikasikan beberapa faktor yang kemudian dirangkum dalam 4 kategori:
1. Faktor personal, dimana komitmen organisasi secara general lebih besar antara karyawan yang telah tua dan lama bekerja dalam organisai. Mereka yang mempunyai nilai kerja intrinsik lebih mempunyai komitmen. Dalam kelompok,karyawan wanita cenderung untuk lebih berkomitmen terhadap perusahaan dibandingkan karyawan laki-laki. Karyawan yang berpendidikan rendah cenderung untuk mempunyai komitmen lebih tinggi daripada karyawan yang berpendidikan tinggi.
2. Karakteristik peran, dimana komitmen akan cenderung lebih kuat bagi karyawan yang memiliki enriched jobs dan pekerjaan yang melibatkan tingkatan yang rendah dari konflik peran dan ambiguitas.
3. Karakteristik struktural, komitmen akan lebih kuat pada karyawan yang berada dalam organisasi yang terdesentralisasi dan dalam kerjasama antara pemilik kerja dimana karyawan tersebut lebih terlibat dalam pembuatan keputusan organisasi.
4. Pengalaman kerja, komitmen akan kuat untuk karyawan dengan pengalama kerja yang menyenangkan, seperti sikap positif dalam kelompok seseorang terhadap orang lain, perasaan bahwa organisasi dapat diandalkan utnuk memenuhi komitmennya terhadap personil yang ada di dalamnya dan perasaan bahwa individu yang ada dalam organisasi merupakan hal yang penting bagi organisasi.
Riset Fields dan Thacker ( 1992 ) menyatakan bahwa komitmen harus dipandang secara strategis bagi perusahaan. Oleh karena itu banyaknya perusahaan yang dihabiskan waktu, tenaga dan dana untuk menggali komitmen sehubungan dengan aktivitasnya. Perusahaan membutuhkan identifikasi awal apa yang dibutuhkan para pekerja mereka. Perusahaan seharusnya tidak beranggapan bahwa keseluruhan tenaga kerja mereka pada semua tingkat mempunyai kebutuhan yang sama. Komitmen karyawan mungkin merupakan sebuah refleksi dari perekonomian sosial atau pengaruh kebudayaan. Teoritisi mengambil pendekatan hubungan manusia atau sumber daya manusia memberikan saran bahwa pekerja yang memiliki komitmen merupakan pekerja yang lebih produktif ( Wyaat dan Wah, 2001 )
Luthans ( 1996 ) menyatakan bahwa baik penelitian masa lalu maupun penelitian terakhir mendukung pengaruh komitmen organisasional terhadap hasil yang diinginkan, seperti kinerja serta berpengaruh negatif terhadap keinginan untuk pindah serta kemangkiran kerja.Kunci utama dalam komitmen adalah bagaimana perusahaan fokus terhadap nilai- nilai dasar dalam proses kualitas kehidupan kerja. Kualitas kehidupan kerja tersebut sangat berpengaruh meskipun belum banyak perusahaan yang mengadopsi komitmen organisasional sebagai budaya. Penelitian Fields dan Thacker ( 1992 ) menunjukkan bahwa suksesnya impelentasi program kualitas kehidupan kerja secara keseluruhan berdampak positif terhadap komitmen pekerja baik terhadap perusahaan. Sementara penelitian Zin (2004) menunjukkan bahwa untuk meningkatkan komitmen organisasional perusahaan harus mengembangkan kualitas kehidupan kerja dengan memberikan kesempatan bagi karyawan untuk mengembangkan diri melalui program pelatihan dan berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pekerjaan mereka. Hal ini sejalan dengan penelitian Gorden dan Infante ( dalam Zin 2004 )
II.4 Kepuasan Kerja 
Untuk mencapai produktivitas yang diharapkan, diperlukan adanya daya dukung dan kerja keras beserta komponen-komponen lainnya. Kepuasan kerja merupakan salah satu komponen yang mendukung tercapainya produktivitas yang dimaksud. Davis (dalam Iriana dkk, 2004 ) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sekumpulan perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan terhadap pekerjaan mereka. Kepuasan kerja dipandang sebagai perasaan senang atau tidak senang yang relatif, yang berbeda dari pemikiran objektif dan keinginan perilaku. Karena perasaan terkait dengan sikap seseorang, maka kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai sikap umum seseorang terhadap pekerjaan dan harapannya pada organisasi tempat ia bekerja. Kepuasan kerja menunjukkan pada sikap emosional positif yang berdasar pada pengalaman kerja seseorang ( Locke dalam Luthans 1998 )
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa karyawan yang puas lebih menyukai situasi kerjanya daripada tidak menyukai. Lebih lanjut kepuasan kerja juga merupakan salah satu komponen dari kepuasan hidup. Sehingga hal tersebut menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam pengembangan dan pemeliharaan tenaga kerja. Karena jika karyawan tidak mendapatkan kepuasan dalam pekerjaannya, maka motivasi mereka akan menurun, absensi dan keterlambatan meningkat dan akan sulit untuk bekerjasama dengan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja seseorang akan ikut menjadi penentu kelangsungan operasional suatu perusahaan. Kepuasan kerja biasanya berhubungan dengan teori keadilan, psikologis dan motivasi. Menurut Wexley dan Yulk, 1977 ( dalam As’ad, 1991 ) teori tentang kepuasan kerja dapat dikelompokkan menjadi 3 macam teori, yaitu :
 a. Disprepancy Theory ( Teori Perbedaan ) 
Teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter. Porter mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan Locke, 1996 ( dalam Sri Budi Cantika, 2004 ) juga menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung pada Disprepancy antara should be expectation, need or values dengan apa yang menurut perasaannya atau persepsinya telah dicapai atau diperoleh melalui pekerjaannya. Dengan demikian orang akan merasa puas jika tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum yang diinginkan telah tercapai. 
b. Equity Theory ( Teori Keseimbangan )
Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Adam ( 1963 ), pendahulu teori ini adalah Zeleznik ( 1958 ) dikutip Locke ( 1969 ) dalam As’ad ( 1991 ). Prinsip teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia akan merasakan adanya ketidakadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor ataupun di tempat lain. Adapun elemen-elemen dari teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu elemen input, outcome, comparison dan equity-in-equity. Yang dimaksud dengan input adalah semua nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang pelaksanaan kerja, contohnya : pendidikan, pengalaman, keahlian, usaha, dan lain-lain. Outcome adalah semua nilai yang diperoleh dan dirasakan pegawai sebagai hasil dari pekerjaannya, misalnya upah, keuntungan tambahan status simbol, pengenalan kembali ( recognition ), kesempatan untuk berprestasi atau ekspresi diri. Sedangkan comparison person dapat diartikan sebagai perasaan seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat lain, atau bisa juga dengan dirinya sendiri di waktu lampau. Equity-in-equity diartikan bahwa setiap karyawan akan membandingkan rasio input- outcomes dirinya sendiri dengan rasio input-outcomes orang lain ( comparison person) Bila perbandingannya cukup adil ( equity ) maka dan karyawan akan merasa puas. Bila perbandingan tersebut tidak seimbang tapi menguntungkan maka bisa menimbulkan kepuasan. Tetapi jika perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan maka akan timbul ketidakpuasan ( Wexley dan Yulk, 1977 dalam As’ad, 1991 )
c. Two Factor Theory ( Teori Dua Faktor)
Teori motivasi dua faktor yang dikemukakan oleh Herzberg adalah faktor yang membuat orang merasa puas dan tidak puas. Dalam pandangan yang lain, dua faktor yang dimaksudkan dalam teori motivasi Herzberg adalah dua rangkaian kondisi. Menurut Herzberg ada serangkaian kondisi yang menyebabkan orang merasa tidak puas. Jika kondisi itu ada dan tidak diperhatikan maka orang itu tidak akan termotivasi, faktor itu meliputi kondisi kerja, status, keamanan kerja, mutu dari penyelia, upah, prosedur perusahaan dan hubungan antar personal (Sri Budi Cantika, 2004 ) Kondisi kedua yang digambarkan oleh Herzberg adalah serangkaian kondisi intrinsik, kepuasan kerja yang apabila terdapat dalam pekerjaan akan menggerakkan tingkat motivasi kerja yang kuat, sehingga dapat menghasilkan prestasi kerja yang baik.  Apabila kondisi itu tidak ada, maka kondisi tersebut ternyata tidak menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan. Serangkaian kondisi ini biasa disebut sebagai satisfier atau motivator. Agar terdapat sifat kerja yang positif pada para bawahan , maka menurut Herzberg para manajer harusmemberi perhatian sungguh-sungguh terhadap faktor-faktor motivator kepada para bawahan. Faktor tersebut adalah sebagai berikut :
(a) keberhasilan pelaksanaan / achievement
 (b) tanggungjawab / responsibilities
(c) pengakuan / recognition
 (d) pengembangan / advancement
(e) pekerjaan itu sendiri/ the work itself.
Luthans ( 1998 ) menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki tiga dimensi, yaitu
(1) kepuasan kerja merupakan respon emosional terhadap situasi kerja, jadi tidak dapat dilihat, hanya bisa diduga
 ( 2) kepuasan kerja seringkali ditentukan oleh sejauh mana hasil kerja memenuhi / melebihi 
harapan seseorang. Contohnya jika anggota suatu departemen merasa telah bekerja lebih berat daripada anggota lain tetapi memperoleh pengharapan lebih sedikit dari yang mereka harapkan maka mereka mungkin akan bersifat negatif terhadap pekerjaan, atasan dan rekan kerjanya. Di lain pihak jika mereka merasa lingkungan kerja memberikan kepuasan kerja maka mereka akan bersikap positif terhadap pekerjaan mereka dan atasan mereka.
(3) kepuasan kerja mencerminkan hubungan dengan berbagai sikap lainnya. 
Smith ( dalam Robbin, 2001) menyatakan terdapat 5 dimensi yang mempengaruhi respon afektif seseorang terhadap pekerjaannya, yaitu : 
1. Pekerjaan itu sendiri, yaitu sejauh mana pekerjaan menyediakan kesempatan seseorang untuk belajar memperoleh tanggung jawab dalam suatu tugas tertentu dan tantangan untuk pekerjaan yang menarik 
2. Bayaran , yaitu upah yang diperoleh seseorang sebanding dengan usaha yang dilakukan dan sama dengan upah yang diterima oleh orang lain dalam posisi kerja yang sama
3. Kesempatan untuk promosi, yaitu kesempatan seseorang untuk meraih atau dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi dalam organisasi 
4. Atasan, yaitu kemampuan atasan untuk memberikan bantuan tehnis dan dukungan terhadap pekerjaan yang menjadi tanggung jawab para bawahan
5. Rekan kerja, yaitu sejauh mana rekan kerja secara tehnis cakap dan secara sosial mendukung tugas rekan kerja lainnya. 
Faktor-faktor  motivator  dalam kepuasan kerja secara tidak langsung merefleksikan praktek-praktek yang berhubungan dengan kualitas kehidupan kerja. Penemuan Field dan Thucker ( 1992 ) mengimplikasikan bahwa organisasi yang menginginkan pegawai yang puas dapat memilih pegawai dengan predisposisi memperoleh kepuasan atau menciptakan lingkungan kerja yang memfasilitasi kepuasan, atau semuanya dengan terlebih dahulu membangun kualitas kehidupan kerja. Penelitian oleh Farley dan Allen (1987) menunjukkan bahwa kondisi kerja yang buruk, pendapatan yang tidak memadai dan kurangnya otonomi serta kurangnya stabilitas kerja berakibat pada rendahnya kepuasan kerja di kalangan pekerja Afrika-Amerka .
Secara jelas dapat dikatakan bahwa kualitas kehidupan kerja dan kepuasan kerja sangat penting karena hal tersebut telah terlibat, berhubungan dengan hasil akhir positif organisasional yang lain. Sebagai contoh, pekerja yang puas dengan pekerjaan mereka memiliki tingkat absensi yang lebih rendah dan keinginan untuk pindah kerja yang kecil.Mereka juga lebih senang untuk menujukkan perilaku sebagai anggota organisasi tersebut dan puas dengan kualitas kehidupan kerja dalam organisasi tersebut secara keseluruhan.
Komitmen dan kepuasan kerja dapat mengarahkan pada kinerja karyawan, dimana kinerja karyawan yang tinggi terdapat di dalam kepuasan kerja yang lebih tinggi.Sebaliknya di dalam kinerja karyawan yang buruk terdapat kepuasan kerja yang lebih buruk ( Ostroff, 1992 ) Dengan kata lain, dalam kinerja karyawan yang meningkat yang bermula dari investasi perusahaan ada kontribusi komitmen dan kepuasan kerja karyawan pada perusahaan. Oleh karena itu semakin tinggi potensi kontribusi komitmen dan kepuasan kerja dalam suatu perusahaan, semakin mungkin perusahaan akan berinvestasi dalam kualitas kehidupan kerja dan bahwa investasi ini akan mengarah pada produktivitas individual dan kinerja karyawan yang lebih tinggi ( Pruijt, 2003 )
II.5 Skema pengaruh kualitas kehidupan kerja terhadap kinerja karyawan
Komitmen organisasi
 
                                                                                                    
                                                                                                 H4 
Kualitas KehidupanKerja

 
Kinerja Karyawan

 
                                 H2
                                                                      H1
Kepuasan Kerja
 



                                 H3                                                                       H5


Keterangan:
H 1 : Kualitas kehidupan kerja mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja karyawan
Pada dasarnya kinerja karyawan merupakan hasil proses yang kompleks, baik berasal dari diri pribadi karyawan ( internal factor ) maupun upaya strategis dari perusahaan ( Kartikandari, 2002 ). Faktor-faktor internal misalnya motivasi, tujuan, harapan dan lain-lain, sementara contoh faktor eksternal adalah lingkungan fisik dan non fisik perusahaan. Kinerja yang baik tentu saja merupakan harapan bagi semua perusahaan dan institusi yang mempekerjakan karyawan, sebab kinerja karyawan ini pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan.
Kualitas kehidupan kerja merupakan masalah utama yang patut mendapat perhatian organisasi ( Lewis dkk, 2001 ) Hal ini merujuk pada pemikiran bahwa kualitas kehidupan kerja dipandang mampu untuk meningkatkan peran serta dan sumbangan para anggota atau karyawan terhadap organisasi. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kualitas kehidupan kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan ( May dan Lau, 1999 ) Adanya kualitas kehidupan kerja juga menumbuhkan keinginan para karyawan untuk tetap tinggal dalam organisasi. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan positif antara praktek kualitas kehidupan kerja dengan kinerja karyawan ( Elmuti dan Kathawala, 1997 )
H 2 : Kualitas kehidupan kerja mempunyai pengaruh positif terhadap komitmen.
Kunci utama dalam komitmen adalah bagaimana perusahaan fokus terhadap nilai-nilai dasar dalam proses kualitas kehidupan kerja. Kualitas kehidupan kerja tersebut sangat berpengaruh meskipun belum banyak perusahaan yang mengadopsi komitmen organisasional sebagai budaya. Penelitian Fields dan Thacker ( 1992 ) menunjukkan bahwa suksesnya impelentasi program kualitas kehidupan kerja secara keseluruhan berdampak positif terhadap komitmen pekerja baik terhadap perusahaan maupun pada Serikat Pekerja. Sementara penelitian Zin (2004) menunjukkan bahwa untuk meningkatkan komitmen organisasional perusahaan harus mengembangkan kualitas kehidupan kerja dengan memberikan kesempatan bagi karyawan untuk mengembangkan diri melalui program pelatihan dan berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pekerjaan mereka. Hal ini sejalan dengan penelitian Gorden dan Infante ( dalam Zin 2004 )
H 3 : Kualitas kehidupan kerja mempunyai pengaruh positif terhadap kepuasan kerja.
Faktor-faktor motivator dalam kepuasan kerja secara tidak langsung merefleksikan praktek-praktek yang berhubungan dengan kualitas kehidupan kerja.Penemuan Field dan Thucker ( 1992 ) mengimplikasikan bahwa organisasi yang menginginkan pegawai yang puas dapat memilih pegawai dengan predisposisi memperoleh kepuasan atau menciptakan lingkungan kerja yang memfasilitasi kepuasan, atau semuanya dengan terlebih dahulu membangun kualitas kehidupan kerja. Penelitian oleh Farley dan Allen (1987) menunjukkan bahwa kondisi kerja yang buruk, pendapatan yang tidak memadai dan kurangnya otonomi serta kurangnya stabilitas kerja berakibat pada rendahnya kepuasan kerja di kalangan pekerja. Secara jelas dapat dikatakan bahwa kualitas kehidupan kerja dan kepuasan kerja sangat penting karena hal tersebut telah terlibat, berhubungan dengan hasil akhir positif organisasional yang lain. Sebagai contoh, pekerja yang puas dengan pekerjaan mereka memiliki tingkat absensi yang lebih rendah dan keinginan untuk pindah kerja yang kecil. Mereka juga lebih senang untuk menujukkan perilaku sebagai anggota organisasi tersebut dan puas dengan kualitas kehidupan kerja dalam organsiasi tersebut secara keseluruhan.
H 4 : Komitmen organisasional mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja karyawan
Salah satu tugas utama manajer adalah memotivasi para personel perusahaan agar memiliki kinerja yang tinggi. Manager yang dapat memberikan motivasi yang tepat untuk para personelnya akan membuahkan produktivitas yang maksimal, kinerja yang tinggi serta pertanggung jawaban perusahaan yang lebih baik. Memahami dimensi-dimensi yang relevan dengan motivasi personel akan menjadi sumber informasi yang berharga bagi siapa saja yang berkutat dengan kinerja perusahaan, begitu juga halnya dengan kemampuan untuk membuat penilaian obyektif tentang apa yang diinginkan personel dari pekerjaan mereka. Hal ini berguna untuk merumuskan kebijakan personal, perencanaan startegis maupun untuk merekayasa ulang proses guna mencapai tujuan produktivitas dan efisiensi
H 5 : Kepuasan kerja mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja karyawan.
Pada dasarnya, kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individu setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai-nilai yang berlaku pada dirinya,ini disebabkan oleh adanya perbedaan pada dirinya dan masing-masing individu. Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan sesuai dengan keinginan individu tersebut, maka semakin tinggi tingkat kepuasan dirasakan dan sebaliknya.Hubungan antara bawahan dengan pihak pimpinan sangat penting artinya dalam meningkatkan produktivitas kerja. Kepuasan kerja dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan, sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja.










BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Kualitas kehidupan kerja secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada kinerja karyawan. Kualitas kehidupan kerja melalui dimensi-dimensi pertumbuhan dan pengembangan, partisipasi, upah dan keuntungan serta lingkungan kerja di dalam perusahaan akan berpengaruh pada peningkatan kinerja karyawan. Semakin baik kualitas kehidupan kerja maka semakin tinggi pula kinerja yang ditunjukkan. kualitas kehidupan kerja juga berpengaruh terhadap peningkatan komitmen organisasional dan selanjutnya berpengaruh pada kinerja karyawan. Semakin kuat komitmen organisasional maka semakin baik pula kinerja karyawan yang bersangkutan.
















DAFTAR PUSTAKA

As’ad, Mohamad.,1991, Kepemimpinan Efektif dalam Perusahaan, SuatuPendekatan Psikologik, Edisi Kedua, Liberty, Yogyakarta 
Anwar Prabu Mangkuegara, DR., Msi., 2006, Evaluasi Kinerja SDM, EdisiKedua, Refika Aditama, Bandung 
Bernardin, H. John dan Russel, J.E.A., 1993, Humans Resource Management : an Experimental Approach, International Edition, Singapore, McGraw Hill. Inc. 

Sri Budi Cantika, 2005, Manajemen Sumber Daya Manusia, UMM Press, Malang